Rabu, 25 Februari 2015

Kisah Sukses BPR Surya Yudha Banjarnegara

Sudah banyak kisah putra daerah yang berjuang untuk membesarkan daerahnya. Satrio Yudiarto adalah salah satunya. Pria yang pernah bekerja di bank internasional ini tak ingin melupakan tanah kelahirannya, Banjarnegara, Jawa Tengah (Jateng). Ia mendirikan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Surya Yudha untuk membantu masyarakat

Jateng. Dalam tiga tahun terakhir, dia juga membangun hotel dan wahana rekreasi demi perkembangan wisata Banjarnegara.

Dibesarkan oleh orang tua yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS) tak membuat Satrio ingin menjadi PNS. Pria yang sudah berusia 67 tahun ini mengaku jiwa wirausaha muncul di bangku sekolah. "Saya sejak SD suka berjualan, mulai layangan, mainan. Sampai kuliah, saya selalu mencari peluang untuk berusaha," tutur Satrio.
 
Namun ketika kuliah, ia menuruti orang tuanya untuk kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Keuangan dan Perbankan (Stikubank) di Semarang. Setelah tamat sebagai sarjana muda, dia melamar sejumlah perusahan dan bank nasional. Dari 30 surat lamaran yang ia kirimkan, hanya satu perusahaan yang menerima dia, yakni Bank of Tokyo yang berkantor di Jakarta.
Di bank ini, Satrio merintis karier hingga ia memangku jabatan Senior Assistant General Manager. Nah, beberapa tahun menjelang pensiun, Satrio punya rencana sendiri. Ia ingin kembali ke daerah asalnya, Banjarnegara. Tetapi, dia tidak mau menganggur. "Dengan kehidupan saya di Jakarta yang dimulai dari pukul 5 pagi sampai malam, saya takut mengalami post power syndrome saat pensiun, ujarnya.
 
Lantas, pada 1991, ia pulang kampung ke Banjarnegara. Ia mulai merintis usaha yang masih berkaitan dengan ilmu yang ia kuasai. Pada 12 April 1992, Satrio meluncurkan BPR Surya Yudha. Pria kelahiran 6 September 1945 ini menggelontorkan modal Rp 150 juta, hasil tabungannya selama puluhan tahun menjadi pegawai bank.
 
Namun, saat itu ia belum meninggalkan pekerjaannya di ibukota. Dus, tiap akhir pekan, dia pulang, untuk mengawasi langsung BPR Surya Yudha.
 
Melihat usahanya semakin maju, Satrio memutuskan pensiun lebih dini pada tahun 2000. Keputusan ini tepat. Sekembalinya, BPR Surya Yudha berkembang pesat. Bahkan, kini, BPR Surya Yudha memiliki 24 kantor cabang dengan 48 kantor kas. Jumlah nasabahnya di Kabupaten Banjarnegara, Temanggung, Wonosobo, Purbalingga, Purwokerto, Cilacap, dan Pekalongan mencapai 75.000 nasabah.
Total aset konsolidasi dari BPR ini sekarang mencapai Rp 1,3 triliun. Satrio bilang, pertumbuhan bisnis BPR Surya Yudha tiap tahun sebesar 20%.
 

Rambah pariwisata
Visi Satriyo dalam merintis BPR Surya Yudha adalah menjadi tuan rumah di kampungnya sendiri. Dus, ia berjuang untuk memberdayakan masyarakat Banjarnegara dengan akses yang ia miliki. "Fokus saya adalah pelaku UMKM," ujar dia.
 
Tentu, kiprah Satrio membesarkan usahanya tidak bebas dari kendala. Ia menyadari semakin lama, angin persaingan kian kencang. BPR harus bersaing dengan koperasi dan bank umum serta bank asing. Ini tak melunturkan semangatnya. Satrio optimistis BPR tetap menjadi sumber pendanaan andalan pengusaha kecil-menengah.
 
Menurut dia, BPR Surya Yudha punya keunggulan karena semua karyawannya asli masyarakat Banjarnegara. "Karyawan BPR tak butuh waktu lama untuk menyesuaikan dengan masyarakat, bahkan lebih optimal dalam menjangkau nasabah, tandasnya.
 
Sejak awal, inilah yang diunggulkan Satriyo. Dulu, ia merintis BPR Surya Yudha dengan 13 orang putra daerah. Dia bilang, ketiga belas orang tersebut masih bertahan bahkan bergabung dalam jajaran direksi BPR Surya Yudha. Sekarang, BPR Surya Yudha memperkerjakan sekitar 1.000 orang.
Kiprah Satriyo ternyata tidak berhenti di bidang perbankan. Dia juga giat mengembangkan sektor pariwisata di Banjarnegara. Meski dia mengaku, melebarkan sayap di dunia pariwisata merupakan suatu kebetulan.
 
Lantaran karyawan BPR Surya Yudha sudah sangat banyak, Satriyo mendirikan fasilitas hiburan berupa waterpark dan pusat olahraga. Seiring berjalannya waktu, tempat rekreasi yang ia beri nama Surya Yudha Park ini ramai dikunjungi pengunjung umum. "Baru tahun 2011 lalu, saya buka untuk komersial dan saya juga bangun beberapa hotel sebagai penunjang," tambah dia.
 
Meski sudah puluhan tahun menjadi pengusaha, Satriyo mengakui bahwa terkadang ia merasa lelah. Apalagi di usianya yang memasuki 67, energinya terkuras untuk mengawasi bisnis yang ia miliki. Akan tetapi, ia selalu merasa mendapat energi tambahan setiap kali memikirkan karyawannya.
Setiap kali melihat karyawannya menjadi pejabat lewat pelantikan resmi, ia kembali semangat. "Saya bukan pada posisi memikirkan diri sendiri tapi bagaimana menyejahterakan seribu orang karyawan saya beserta keluarganya. Kalau mereka berhasil, saya puas," ungkapnya. Ia menantang dirinya untuk memberi hidup nyaman pada semua karyawannya.
 
Di sisi bisnis, ia masih punya target untuk BPR Surya Yudha. Ia menargetkan dalam lima tahun, bisa membuka 10 cabang di Jawa Tengah bagian barat. Tujuannya tetap untuk membantu sebanyak mungkin masyarakat kecil, ujar ayah dari lima orang anak ini.
 
Di sektor pariwisata pun, ia berencana membuka hotel baru di Purwokerto dan Dieng tahun depan. Ia melihat Dieng bakal jadi tujuan wisata internasional yang baru di masa mendatang. Satrio menambahkan, ia tidak mengincar kota besar karena sudah terlalu banyak pesaing. Justru ia mau mengembangkan daerah yang belum banyak dikenal orang. Dengan demikian, dampak sosial dari usahanya semakin terasa. "Kota besar sudah dikuasai oleh hotel asing, jadi saya fokus di daerah saja supaya putra daerah yang jadi tuan rumah di kampung sendiri," tutur dia.    
 
Terapkan etos budaya kerja Jepang
Pengalaman bekerja di Bank of Tokyo membuka kesempatan bagi Satrio Yudiarto untuk belajar mengenai etos kerja. Satriyo sangat mengagumi budaya kerja di perusahaan Jepang. Makanya, etos kerja perusahaan Jepang ini yang ia jadikan bekal untuk diterapkan di perusahaannya.
Menurut dia, perusahaan Jepang terkenal di seluruh dunia dengan budaya yang mengutamakan kedisiplinan, semangat kerja, dan kejujuran. "Kalau mau menjadi karyawan di perusahaan saya, syaratnya tidak perlu muluk-muluk. Yang penting tiap pekerjaan bisa diselesaikan dengan sifat jujur dan loyal, " tandas dia.
 
Di luar itu, Satrio juga berharap, bisnisnya bisa jadi bisnis keluarga yang tetap sesuai dengan visinya. Dari lima orang anaknya, Satriyo melibatkan dua di antaranya, yaitu Tenny Yanutriana dan Anindita Alisia. Bersama istrinya, Emilia Hayati, juga menjadi komisaris di BPR Surya Yudha.
 
Keluarga akan menjadi komisaris dan bertugas mengurusi manajemen. Tapi, dia juga melibatkan profesional dari luar keluarga, untuk memastikan perusahaan tetap berjalan dengan menerapkan standar yang profesional. "Saya tetap merekrut tenaga profesional sebagai anggota tim pengawas," tutur Satriyo.
 
Tidak seperti bisnis lainnya, BPR ada di bawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dus, Satriyo tidak bisa sepenuhnya menyerahkan bisnisnya hanya pada pihak keluarga. Sistem yang sama ia terapkan pada usaha tempat rekreasinya. Meski keluarganya dilibatkan, ia tetap butuh tenaga profesional untuk mendukung perusahaan.
 
Namun di masa mendatang Satriyo berharap anak-anaknya bisa mengembangkan BPR Surya Yudha hingga ke provinsi lain. "Bagian saya Jawa Tengah. Saya biarkan anak-anak yang meneruskan ekspansi ke luar Jawa Tengah," ujar dia.      




Senin, 23 Februari 2015

Sukses Alga Spring Bed

Konsisten mengembangkan produk menjadi kunci sukses Andry Agus di industri spring bed. Pria kelahiran Tiongkok ini merintis usaha sejak tahun 1976 dengan mendirikan PT Alga Jaya Raya. Kini, ia termasuk salah satu pemain utama dalam bisnis spring bed. 
Bahkan, ia termasuk salah seorang pelopor spring bed kesehatan pertama di Indonesia. Siapa menyangka kalau Andry sebenarnya sama sekali tidak punya latar belakang usaha spring bed.
Sebelum sukses di industri ini, ia pertama kali mencoba peruntungan di industri tekstil. Di industri ini ia menjadi importir dengan mendatangkan produk tekstil dari Jepang.
 
Kiprahnya di industri ini berlangsung dari tahun 1962 hingga 1971. Begitu mundur dari industri tekstil, ia mencoba merambah industri yang sangat bertolak belakang dengan bisnis sebelumnya. Yakni, industri perfilman di tahun 1972-1975.
 
Saat itu, Andry memproduksi salah satu film nasional berjudul Singa Betina dari Marunda yang disutradai oleh almarhum Sofia WD.
 
Dengan pengalaman bisnis  itu, tentu tak pernah tebersit sedikit pun angan-angan untuk terjun ke bisnis spring bed.  Sampai akhirnya ia bertemu dengan sorang temannya di Taiwan yang memproduksi spring bed dengan kualitas baik.
 
Dari situ ia kepikiran untuk mencoba mengenbangkan bisnis ini di Indonesia.  Ia lalu banyak belajar pembuatan spring bed dari temannya ini.
 
Setelah belajar, ia mencoba membuatnya di Indonesia dengan beberapa perubahan yang disesuaikan dengan kebutuhan kesehatan dan postur tubuh orang Indonesia. "Saya sudah mulai belajar membuat spring bed kesehatan sejak tahun 1975," katanya.
 
Sebelum dipasarkan, Andry mencoba sendiri tidur di atas spring bed Alga untuk membuktikan kualitasnya. Tidak hanya semalam dua malam, tapi ia juga mencoba selama seminggu supaya benar-benar terasa efeknya.
 
Agar lebih meyakinkan produknya, Andry juga menguji spring bed-nya ke beberapa orang rekannya. Dari awal berdiri sampai sekarang, Andry terjun langsung dalam inovasi produk hingga uji kualitas.
Setelah teruji kualitasnya, barulah ia mulai memasarkannya. Di tahun 1976, ia mulai mencoba bisnis yang dianggapnya memiliki prospek cerah ini.
 
Awal mula produksi, tidak mudah baginya menjual spring bed khusus kesehatan ini. Ini dikarenakan saat itu  masyarakat Indonesia belum mengenal kasur pegas alias spring bed,
"Ketika itu spring bed belum populer di masyarakat," ujarnya.
 
Saat itu masyarakat Indonesia terbiasa memakai kasur kapuk dan busa. Kasur kapuk dan busa ini memang enak dipakai dan empuk, tapi tidak baik bagi kesehatan tubuh.
 
Menurutnya, kasur kapuk atau busa kurang mampu menyangga tulang punggung. Akibatnya, tubuh kerap terasa sakit begitu bangtun tidur. Bahkan, hal itu menjadi salah satu faktor penyebab kebungkukan.
 
"Kalau orang tidur di atas busa maka tulung punggung tidak lurus karena busa mengikuti posisi tubuh saat tidur. Jadi, tidak menjamin untuk kesehatan.," kata pria 79 tahun ini.
 
Kendati tidak baik buat kesehatan, mengajak masyarakat untuk beralih menggunakan spring bed bukan perkara mudah. Pasalnya, kasur pegas seperti spring bed terasa keras saat dijadikan alas tidur. Rasanya jelas tidak senyaman kasur kapuk atau foam.
 
Namun, ia tidak menyerah. Melalui berbagai sarana dan media promosi, Andry terus melakukan sosialisasi spring bed buatannya. Pernah di tahun 1980, iklan spring bed Alga menuai kontroversi di masyarakat.
 
Saat itu, iklan spring bed Alga dipermasalahkan oleh masyarakat karena mereka merasa dibohongi. Dalam iklan itu ada adegan spring bed Alga yang tidak hancur saat dilindas mesing giring seberat 8 ton.
Selain menarik perhatian penonton, ini juga dilakukan semata-mata untuk membuktikan kualitas spring bed Alga. Menurut dia, produk spring bed yang keras justru bisa mencegah sakit tulang punggung.
 
"Banyak yang tidak percaya. Saat itu langsung mempersiapkan pengacara. Tapi saya bersyukur tidak sampai ke meja hijau," ungkap Andry.
 
Ia mengaku, sejak awal merintis usaha sudah berambisi ingin memproduksi spring bed kesehatan yang bermanfaat bagi konsumennya. Keinginan itu juga yang membuatnya memilih fokus di usaha ini.
 
Sebelum Alga muncul, memang sudah banyak merek spring bed luar negeri yang masuk pasar Indonesia. Namun, kata Andry, kebanyakan produk yang beredar di pasaran itu tidak memenuhi kualitas tidur yang sehat untuk masyarakat.
 
"Dari situ saya melihat masyarakat Indonesia membutuhkan tempat yang nyaman untuk beristirahat," jelasnya.
 
Kerja kerasnya tidak sia-sia. Pelan-pelan ia mulai berhasil merubah pandangan masyarakat yang terbiasa memakai kasur kapuk dan busa untuk beralih menggunakan spring bed.
 
Sekitar tahun 1981, spring bed Alga sudah mulai populer di pasaran. Saat itu, banyak masyarakat yang semula memandang sebelah mata mulai banyak mencari
 
Bahkan, banyak dari mereka mencari spring bed yang lebih keras lagi. Menyikapi tingginya animo masyarakat, ia terus meningkatkan kualitas produk dengan mendatangkan mesin berteknologi tinggi dari Swiss dan Amerika.
 
Hingga saat ini, produk unggulan Alga, yakni super keras masih mempimpin pasar spring bed nasional karena memang belum ada kompetitornya.
 
Pasang surut
Kendati kini terbilang sukses, perjalanan bisnisnya tetap mengalami pasang surut. Bisnis spring bed Alga yang mengalami masa kejayaan di era 1980–1990-an sempat terpuruk di tahun 1998.
Keterpurukan itu efek dari krisis ekonomi nasional yang sangat pelik. Selain peristiwa ekonomi, kondisi politik yang tidak stabil juga mempengaruhi bisnisnya.
 
Saat itu, ia harus kehilangan sekitar 30% karyawannya demi mempertahankan perusahaan. "Waktu itu sepi kondisinya. Ini berlangsung sampai tahun 2004. Di tahun 2005 kondisinya sudah mulai membaik," kata Andry.
 
Memasuki tahun 2009, bisnisnya kembali pulih dan menalami pertumbuhan sampai saat ini.   
Baginya, sukses yang diraih ini tak lepas dari dukungan istri dan keluarga. Ia bilang, dukungan karyawan yang telah bekerja bertahun-tahun dengannya ini juga memperngaruhi kesuksesannya.
Menurutnya, bisnis spring bed yang terus eksis hingga saat ini merupakan hasil disiplin kerja yang telah ia terapkan ke seluruh karyawan. Tidak ada perbedaan perlakuan dari Andry sebagai pimpinan perusahaan kepada seluruh karyawannya.
 
"Semua jabatan sama. Termasuk saya. Tidak ada perbedaan. Begitupula dengan tamu dan karyawan di pabrik. Yang penting kerja dengan baik, kalau salah tetap saya peringatkan," kata Andry.
Untuk terus memenuhi kebutuhan konsumen, Andry selalu membuat inovasi baru. Ia bilang, beberapa waktu lalu banyak konsumen meminta dibuatkan spring bed yang bisa mengatasi sakit tulang punggung, tapi tetap nyaman dan empuk saat dipakai tidur.
 
Untuk memenuhi permintaan konsumen tersebut, ia baru saja menciptakan produk baru yang terinspirasi dari teknologi Eropa. Yaitu mini pocket spring. Ia bilang, produk ini tidak mengurangi kualitas produk spring bed super keras.
 
Mini pocket spring atau pegas berukuran kecil ini meredam kerasnya Alga spring bed super keras, sehingga tetap nyaman saat digunakan.
 
Ia juga mengklaim, produk barunya ini merupakan satu-satunya di Indonesia bahkan Asia Tenggara. "Hak paten teknologi ini sudah dipegang Alga," tutur Andry.
 
Seluruh produk spring bed Alga ini diproduksi di pabrik yang berlokasi di daerah Bogor, Jawa Barat. Sementara pemasarannya melalui distributor dan agen-agen di seluruh Indonesia.
 
Andry bilang, banyak pelanggannya berasal dari kota-kota besar di seluruh Indonesia, seperti Medan, Surabaya, Palembang, Bandung, Malang, Pontianak, hingga Samarinda.
 
Tak jarang ada juga pembeli yang sengaja memesan spring bed Alga untuk dibawa ke luar negeri guna dipakai sendiri. Selain melalui distributor dan keagenan, konsumen juga bisa membeli langsung di showroom Alga yang lokasinya tak jauh dari stasiun Jakarta Kota.
 
Di sana, pembeli dapat melihat langsung contoh dari berbagai pilihan spring bed merek Alga. Tidak sampai sini saja, nantinya Andry juga akan terus melahirkan spring bed dengan inovasi baru demi kesehatan masyarakat Indonesia.
 
Seluruh produk spring bed Alga terbuat dari bahan-bahan berkualitas, seperti polyester sisal, cotton sheet, conwed netting, dan pegas berkualitas tinggi dengan ketebalan hingga 2,5 milimeter (mm) yang dapat menopang tulang punggung dengan sempurna. Susunan dalam spring bed Alga tidak menggunakan busa.
 
Selain pasar dalam negeri, ia juga berencana mengekspor spring bed Alga ke berbagai negara. Saat ini, rencana tersebut masih tahap penjajakan.

Minggu, 22 Februari 2015

Kerr Neilson, Warren Buffett asal Australia


Sekali lagi, predikat investor terbukti menjadi profesi paling ampuh untuk memupuk harta berlimpah. Coba lihat kisah hidup Kerr Neilson. Kepiawaiannya meneropong harga saham membuat dia dijuluki "Warren Buffett asal Australia".
 
Mirip seperti Buffett, Neilson meraup kekayaan dari bursa saham Australia. Selama belasan tahun bergulat dengan bursa saham Australia membuat pundi-pundi kekayaannya melambung. Forbes menaksir, total kekayaan Neilson mencapai US$ 3 miliar.
 
Pria berusia 65 tahun ini pun dianugerahi dengan predikat orang terkaya ke-8 di Australia, per akhir Januari 2015. Posisi ini naik dari peringkat ke-10 pada tahun 2014. Di dunia, Neilson tercatat sebagai orang terkaya ke-551. Kekayaan Neilson bersumber dari perusahaan investasi miliknya, Platinum Investment Management Ltd. 
 
Saat ini, Platinum memiliki dana kelolaan mencapai A$ 25 miliar. Platinum merupakan hedge fund skala global. Klien Platinum tersebar mulai dari Australia, Selandia Baru, Eropa, Amerika, dan Asia. Sejak berdiri pada tahun 1994, Platinum telah membukukan keuntungan (return) rata-rata sebesar 19,15% saban tahun.
 
Keberhasilan Platinum mengelola duit merupakan mesin uang bagi pundi-pundi kekayaan Neilson. Saat ini, bapak dua anak ini menggenggam sebanyak 55,5% saham Platinum. Neilson lahir pada tahun 1950 di Johannesburg, Afrika Selatan.
 
Neilson menghabiskan masa kecil di Afrika Selatan. Kendati hidup di belahan dunia nun jauh, Neilson sudah akrab dengan saham sejak usia dini. Neilson membeli saham pertama saat baru menginjak usia 13 tahun. 
 
Ketertarikan Neilson terhadap dunia ekonomi mendorongnya meraih gelar Bachelor of Commerce dari University of Cape Town, Afrika Selatan. Setelah lulus dari bangku kuliah, Neilson hijrah ke Inggris. 
 
Setelah mengecap pengalaman bekerja di Inggris, Neilson kembali menginjak kampung halaman. Di Afrika Selatan, Neilson bekerja sebagai analis di perusahaan sekuritas. Setelah memperoleh pengalaman cukup mumpuni, pada tahun 1983, Neilson hijrah lagi. 
 
Kali ini, Neilson nekat bermigrasi ke Sydney, Australia. Di Negeri Kanguru, Neilson meniti karier di perbankan investasi Bankers Trust (BT) sebagai fund manager. Nama Neilson mulai tersohor di kalangan bursa saham Australia pada 1987. Kala itu, Neilson yang menduduki jabatan senior fund manager di BT Australia, menarik investasi dari bursa saham. 
 
Ramalan Neilson terbukti jitu. Setelah menjual seluruh portofolio saham, pasar modal Australia runtuh pada Oktober 1987. Aksi jual saham besar-besaran melanda bursa Australia pada pembukaan perdagangan Senin. Peristiwa ini populer disebut Black Monday.
 
Aksi jual saham merembet mulai dari Hong Kong, Eropa hingga bursa Amerika Serikat (AS). Pemicunya adalah perlambatan ekonomi AS. Lolos dari Black Monday, membuat nama Neilson melambung. Kepiawaiannya mencetak untung di bursa saham membuatnya menjadi mesin pencetak utang BT Australia. 
 
Setelah beken sebagai fund manager, Neilson memutuskan hengkang dari BT Australia dengan jabatan terakhir sebagai Executive Vice President pada tahun 1993. Neilson kemudian mencoba peruntungan dengan membangun perusahaan investasi sendiri.
 
Neilson membangun Platinum bersama empat temannya. Keahlian Neilson bahkan mendapat dukungan dari investor kawakan George Soros. Miliarder Soros tercatat sebagai salah satu penyokong modal awal Platinum. George Soros menyuntikkan dana sebesar US$ 120 juta pada Platinum atau setara 20% saham pada tahun 1994 silam.