Senin, 31 Januari 2011

John Assaraf: Sahabat Anda hari ini adalah masa depan dikemudian hari

John Assaraf, sebelum sukses sbg pebisnis properti, waralaba dgn penghasilan tahunan $3milyar dan wisata internet, Bamboo.com seperti sekarang ini apakah Anda tahu seperti apakah dahulunya dia. Dahulu, melihat pd masa lalunya, mungkin Anda akan setuju bahwa Assaraf sama sekali tdk memiliki suatu masa depan cerah. Perhatikan, Assaraf dahulu hanya anak seorang anak jalanan yg terjerat obat terlarang dan gangster. Namun, ketika ia bekerja di sebuah pusat kebugaran, hidupnya mulai berubah. Perubahan itu terjadi ketika setiap hari jam 9-10 malam, bersama para pria sukses dlm sebuah kamar sauna di pusat kebugaran itu. John terkesan mendengar kisah mereka yg jatuh bangun dlm bisnis. Kisah ttg keluarga, bisnis dan kesehatan mereka, yg memberi lebih byk ilham bagi dirinya. Suatu waktu ia dinasehati oleh para pria tsb bahwa; " Apapun kegagalannya, coba cari jalan lain, lewat atas, melompat, berputar atau menerobos, yg penting jangan putus asa. Selalu ada jalan."

John menganggap pergaulannya dgn orang-orang sukses di kamar sauna itu sbg sekolah bisnis pertamanya, yg mengajarkan bahwa kesuksesan tdk hanya utk mereka yg dilahirkan dlm keluarga brkecukupan, namun apapun kondisi kehidupannya, ia bisa membangun kehidupan yg sukses.

John Assaraf bersikap selektif dlm pergaulan, ia berkata: "Aku tidak berkeliaran dekat siapapun yg tak ingin ku jadikan teman. Aku berkeliaran dekat org yg bahagia, yg berkembang, yg ingin belajar, yg tdk berkeberatan berkata maaf atau terim kasih...dan yg menjalani saat-saat menyenangkan."

Belajar pd prinsip yg di miliki John Assaraf sebenarnya adl baik, penting, tepat jika setiap org juga selektif dlm bergaul. Hindari pergaulan ygv hanya mendatangkan sakit hati, kecewa atau dgn org yg mematahkan semangat dan tdk memiliki optimisme akan sebuah masa depan yg indah bagi dirinya. Berhentilah menghabiskan waktu bersama mereka.

Selasa, 18 Januari 2011

Bukan Pekerja Biasa

Dr. Cai Ming Jie, seorang Ph.D. lulusan Stanford University, memutuskan untuk menjadi seorang sopir taksi setelah kehilangan pekerjaannya. Dr. Cai Ming Jie tidak hanya berani menghadapi hidup dengan melakukan pekerjaan yang mungkin jauh dari impiannya, tetapi juga berusaha melakukan yang terbaik. Ia mencatat pengalamannya sebagai sopir taksi dalam sebuah blog: A Singapore Taxi Driver's Diary. Itu menjadikannya bukan "sopir taksi biasa".

Andai Anda sedang berada di lingkungan pekerjaan yang bukan pilihan Anda, jangan bekerja sekadarnya. Jangan menjadi pegawai biasa. Guru biasa. Dokter biasa. Percayalah, dunia bisa tidak adil terhadap Anda, tetapi Tuhan selalu adil. Kunci keberhasilan kita ada pada Tuhan, bukan pada dunia. Tanggung jawab kita, bukan menuntut ini dan itu, tetapi berjalan bersama Tuhan dan bekerja sebaik-baiknya. Tuhan akan memampukan kita memberi yang terbaik di tengah kondisi yang tak ideal sekalipun

TUHAN DIMULIAKAN DI TEMPAT KITA BERKARYA HINGGA KITA MENJADI BUKAN PEKERJA BIASA

Rabu, 12 Januari 2011

Mereka Pengusaha Media Termuda di Dunia



TEMPO Interaktif, Northants - Di tengah ledakan media sosial dan media online, dua remaja asal Inggris berusia 14 tahun membuktikan media cetak masih digemari. Sean Spooner dan Louis Porter membuat majalah lokal bernama "Corby", dalam enam bulan, mereka sudah memiliki 5.000 pembaca.


Dua remaja ini mengerjakan majalah tersebut dari kamar tidur mereka, bermodal laptop, kamera dan telepon genggam. Isi dari majalahnya, berita dalam bentuk features, peristiwa lokal, dan berbagai kompetisi yang digelar di Corby, Northants, tempat tinggal mereka. 

Majalah ini gratis, lantas bagaimana biaya produksinya? "Kami mendapatkannya dari iklan," kata Sean seperti dikutip dari laman Orange, hari ini. "Semua ini ide dari kami sendiri, kami memproduksi dan membiayainya dari iklan," ujarnya. 

Sean menjadi pemimpin redaksi yang berhubungan dengan penulisan dan produksi, sedangkan Louis berhubungan dengan penjualan iklan. Jabatanya Louis, Direktur Bisnis. Tugas Louis, membujuk pengusaha lokal untuk memasang iklan di majalah mereka. 

"Waktu pertama kali sangat, sangat sulit menjual iklan, karena ketika itu kami belum mencetaknya, baru sebatas ide," kata Louis. "Aku harus menyakinkan bahwa bisnis media cetak ini berkembang dan sukses," ujarnya. 

Menurut Louis, banyak pengusaha yang ragu dan berpikir, "apakah aku harus menyerahkan uang kepada anak 14 tahun, dan tidak pernah bertemu dengannya lagi," ujar Louis. 

Saat terbit pertama kali, Juni tahun lalu, hanya memiliki 12 halaman dan dicetak sebanyak 200 eksemplar. Dalam edisi keempatnya, mereka sudah menambah hingga 36 halaman dan memiliki pelanggan tetap yang diantar ke rumah dan kantor sebanyak 1.000 eksemplar. 

"Rasanya luar biasa ketika majalah itu selesai dicetak, dan fantastis melihat orang-orang membacanya," kata Sean.

Selasa, 04 Januari 2011

Olivia: Sang Malaikat Kecil telah Menyelesaikan Tugasnya

Kisah nyata tentang kehidupan gadis kecil yang bernama  Olivia


Pengantar  Redaksi: Dalam  terbitan Warta  RC minggu lalu dimuat suatu ucapan  belasungkawa atas berpulangnya Olivia Laurencia, 10 tahun, keponakan dari Jelly  Lim,  anggota Dewan Paroki Regina  Caeli. Banyak Warga RC yang menyempatkan diri melayat di rumah duka ikut  menitikkan air mata tapi sekaligus diteguhkan iman mereka mendengar  kisah hidup Olivia yang berjuang melawan penyakitnya sejak  usia satu setengah tahun. Berikut adalah kesaksian yang ditulis oleh salah  seorang kerabatnya. Semoga kesaksian ini membawa kita pada permenungan yang  mendalam tentang makna hidup kita masing-masing.
___________________________________________________________
Tiga Juli  1999, tangis bayi memecah kesunyian. Sang bayi mungil lahir ke dunia membawa  kebahagiaan bagi pasangan Jimmy dan Aiwan. Kulit putih kemerah-merahan, mata  yang sungguh indah, bahkan ia memiliki bobot tubuh yang cukup besar dibandingkan  ukuran normal bayi yang baru lahir.

Semua orang yang melihat memuji sang bayi  cantik yang kemudian diberi nama Olivia Laurencia dengan nama kecil Ping Ping  ini. Yah,  ini adalah mahakarya yang sungguh indah dari Tuhan bagi keluarga muda itu.

Sang bayi  mungil tumbuh cepat dan makin cantik dari waktu ke waktu. Babak baru  kehidupannya dimulai ketika umur satu setengah tahun. Saat anggota keluarga yang  lain melihat adanya kelainan penglihatan pada Oliv kecil, segera mereka  memeriksakannya ke dokter. Bagaikan disambar petir mereka harus menerima  kenyataan bahwa Olivia divonis menderita kanker mata, atau istilah kedokterannya  penyakit Retina Blastoma. "Biasanya untuk penyakit begini umurnya paling sekitar 2 tahun lagi," demikian kata sang  dokter yang terus terngiang-ngiang di ingatan orangtuanya.

Bergelut  dengan Pengobatan

Berbagai  pengobatan mulai dijalani, bahkan pengobatan sampai ke luar negeri. Dokter  menyarankan agar bola mata kiri yang terkena kanker segera diangkat. Namun sang  papa bersikeras untuk tidak mengambil jalan itu. "Dia seorang anak gadis,  bagaimana dia menghadapi hidupnya kelak dengan mata palsunya. Jalan  ini juga tidak bisa menjamin 100% sel kanker itu hilang begitu saja.  Mata  dia sungguh indah, semua orang juga mengakuinya," berontak sang papa.  Akhirnya  dipakailah cara kemotherapy untuk  mematikan sel-sel kanker yang telah tumbuh itu. Saat sang putri kesayangan  teriak menahan sakit yang dideritanya, sang papa tidak kuat menerima kenyataan itu bahkan ia membenturkan kepalanya sendiri ke dinding.

Menurut  pengakuannya meski sudah dibaptis dan menjadi pengikut Kristus, Jimmy dan Aiwan  belum menjadi pengikut Kristus yang sesungguhnya. Untuk pergi ke gereja pun  kadang masih agak ogah-ogahan. Tepatnya hanya menjadi umat yang biasa-biasa  saja. Dalam mimpinya suatu malam Jimmy didatangi oleh malaikat yang membawa  sebuah maklumat berisi hanya satu kata 'BAPTIS'. Setelah  menceritakan kepada saudaranya, saudaranya itu memberikan masukan "baptis  berarti kamu mesti bertobat!". Sambil  tetap
menjalani pengobatan, kondisi Olivia mengantar papa dan mamanya lebih rajin dalam berdoa dan mengikuti persekutuan. Mereka lebih berpasrah dan menyerahkan sepenuhnya kepada kehendak Bapa. Mereka bertumbuh dalam iman di tengah penyakit yang diderita Olivia.

Di  sela-sela kesibukan mengurusi pengobatan Olivia, Allah mendatangkan penghibur di  keluarga ini. Seorang anak pemberian Tuhan hadir di tengah mereka. Sang adik  kecil itu kemudian diberi nama Yohanes
Natanael. Setidaknya ini adalah suatu  penghiburan di tengah kesedihan mereka.

Olivia  sempat menjalani dua kali kemotherapy  yang membuat kondisi fisiknya drop. Saat ia drop dan trombosit dalam tubuhnya turun,  sang papa dan pamannya dengan kondisi was-was musti siap mengantri sepanjang  hari untuk mendapatkan bantuan darah di PMI. Demikian sepanjang hidupnya Olivia menjalani pengobatan. Biasanya setelah therapy ia mengalami kerontokan rambut  hingga botak sama sekali. Dengan fisik yang demikian Olivia tidak pernah merasa  rendah diri. Ia tetap menjadi anak yang periang. Bahkan di
sekolah ia termasuk  salah satu murid yang memiliki prestasi yang cemerlang. Seluruh keluarga besar  sangat menyayangi dan memberi perhatian penuh kepadanya. Saat ilmu kedokteran  sudah angkat tangan dan hanya
memberikan harapan kosong atas kesembuhannya,  seluruh keluarga tidak berputus asa. Berbagai pengobatan alternatif dijalani.  Pantangan-pantangan makanan selalu dituruti oleh gadis kecil ini. Obat-obatan  dari berbagai bentuk dan rasa yang sungguh merusak indra pengecapan juga dilahap  dengan pasrah.

Membawa  kepada Kristus

Dalam kondisi demikian, Oliv kecil  sungguh bergantung pada Tuhan Yesus. Setiap pagi saat jam dinding baru  menunjukkan pukul 04.00, bagai jam weker Olivia membangunkan orangtuanya untuk  mengajak doa pagi. Ketika melihat papanya bersedih hati, Olivia selalu berujar  "Smile". Dengan polosnya Olivia berujar dan mengajarkan papanya "Dalam masalah apa pun kita harus selalu smile." Imannya  kepada Yesus itu membuat ia boleh dibilang tak pernah mengeluh soal penyakit  yang dideritanya. Ia bahkan tak pernah menangis karena penyakit itu.

Iman  Olivia ini menghantarkan sang kakek, nenek, om, tante yang belum mengenal  Kristus menjadi orang-orang percaya. Ketegaran  Olivia membuat mereka semua merasakan bahwa Yesus sungguh ada bersama Olivia.  Hal itu pula yang kemudian mendorong keluarga besarnya semakin berpasrah pada Yesus. Bahkan mereka kemudian terjun aktif dalam kegiatan rohani di lingkungannya. Sungguh inilah karya besar yang ditinggalkannya.

Bulan-bulan terakhir menjelang ajalnya ia menunjukkan kasihnya yang luar  biasa kepada keluarganya, terutama kepada adik kecilnya. Ia  berujar kepada sang mama "Kan Oliv mau jadi peri yang baik  hati". Natal dan malam Tahun Baru 31 Desember 2008, meskipun menahan  sakit kepala yang belakangan selalu menyerangnya, ia berusaha tetap ceria. Saat  acara tukar kado bersama jemaat Gereja, ia juga masih selalu bercanda dengan  semua orang.

Beberapa hari kemudian, 4 Januari 2009, saat sakit kepala yang  semakin parah dan disertai dengan muntah-muntah, keluarga memutuskan untuk merawatnya di rumah sakit. Semakin lama kondisi fisiknya semakin parah. Tubuhnya  bahkan sudah sulit untuk menerima asupan makanan. Hal yang ditakutkan pun  terjadi. Hasil MRI menunjukkan sel kanker yang sudah membutakan mata kirinya  telah menjalar sampai ke otak bahkan ke seluruh tubuhnya.

"Terimakasih  Tuhan Yesus"

Setiap  hari ia hanya bisa terbaring lemas dan tertidur. Saat ia terbangun, kesakitan  yang sungguh luar biasa dialaminya. Ia hanya bisa berteriak, "Aduh sakit, sakit sekali Tuhan…".  Sang mama yang tidak kuat
melihat  penderitaan putrinya mengatakan, "Kalau sakit sekali, menangis saja Oliv," tapi  anak ini sungguh kuat. Dia tidak pernah mau menangisi kesakitannya. Orang tuanya  kembali dikuatkan dan diajarkan untuk tetap tegar dalam segala masalah, walaupun  itu tidak mengenakkan. Kesakitannya semakin memuncak, bahkan obat penahan sakit  yang diberikan dokter sudah tidak bisa menghilangkan rasa sakit itu. Dua malam  menjelang ajalnya, Oliv yang bulan Juli mendatang genap berumur 10 tahun berdoa  penuh iman.

"Terima kasih Tuhan atas kasih karuniaMu,  Oliv percaya Oliv sudah sembuh, Oliv sudah dipulihkan. Tidak ada satu penyakit  apa pun di badan Oliv, dari ujung rambut sampai ujung kaki Oliv, karena sudah  Engkau tebus di kayu salib. Tuhan berkati Oliv, Tuhan ampuni semua dosa Oliv,  terima kasih Tuhan, Haleluya, Amin..." Sebuah doa yang sungguh indah dan  penuh makna.

Doa seorang anak yang sungguh mencintai dan mengimani  Yesus.

Saat malam  terakhir ia bahkan sempat meminta sang papa yang memang sangat dekat dengannya  untuk memeluk, menurunkannya dari ranjang pasien dan memangkunya. Dia meminta  kepada semua orang dan keluarga yang mengunjunginya untuk senantiasa  berdoa dan mendoakannya sepanjang malam itu. Detik-detik maut semakin mendekatinya. Dalam kesakitan yang sudah tidak  tertahan, kalimat terakhir yang keluar dari mulutnya "Sakit sekali ya Tuhan, Oliv sudah tidak  tahan lagi…" kemudian kepalanya jatuh terkulai sambil berucap "Trima kasih Tuhan Yesus" . Kemudian  ia sudah tidak sadarkan diri, tubuhnya mulai kejang-kejang. Saat sang papa  membisikkan ke telinganya "Papa merelakan Oliv pergi, karena papa percaya di  surga penuh damai sejahtera dari pada di dunia dengan menanggung penderitaan.  Saat Oliv bertemu dengan Yesus dan Yesus ingin memegang tangan Oliv, segeralah sambut  tangan-Nya. Selamat jalan Oliv kami semua merelakan Oliv."  Dalam kondisi yang sudah 'koma' Olivia  meneteskan airmata.

Sesaat  setelah itu, bergantian istri pendeta memegang  tangan Oliv sambil membisikkan di telinganya, "Kalau Oliv sudah bertemu Tuhan Yesus, Oliv genggam kencang tangan tante yah.."  Dalam keadaan 'koma' itu ia
benar2 menggenggam tangan itu dan tak lama kemudian  Oliv kecil pun pergi untuk selamanya dengan perlahan, tenang dan damai.  Dua  belas Januari 2009, pukul 15.45.

Tugasnya  sudah selesai

Kedua  orang tuanya tentu sedih dengan kepergiannya. Tapi mereka mengimani bahwa Olivia  sudah bahagia di surga selamanya. Mereka berusaha menahan tetesan airmata dan  merelakan kepergiannya. Mereka berusaha meneladani apa yang selalu dikatakan  Olivia selama hidupnya, bahwa "Segala sesuatu ada waktunya; selalu  tersenyumlah dalam segala hal; tetap kuat dan tegar dalam pergumulan;  berserah dirilah kepada Tuhan Yesus,  karena Dia akan memberikan jalan terbaik dan selalu mengasihi  kita".

Jasadnya  sudah terbaring kaku, tapi ia terlihat seperti hanya tertidur. Semua  pelayat yang melihat, memuji Olivia bagaikan peri kecil cantik yang tertidur  pulas. Wajah dan kulitnya putih bersih. Bibir kecilnya menyunggingkan senyum  kecil bahagia. Salah satu mata yang tadinya agak cekung karena sel kanker sudah  menggerogoti dan membutakan mata kirinya bahkan terlihat normal kembali. Ia  benar-benar seperti tertidur.

Semua mengimani, saat ajal menjemputnya Tuhan  terlebih dahulu memulihkan fisiknya. Keluarga besarnya juga mengimani bahwa  Olivia adalah penolong yang diberikan Tuhan di tengah-tengah keluarga mereka.  Melalui  sakit yang dideritanya satu persatu anggota keluarga besarnya bertobat dan  menerima Kristus. Tugas  malaikat kecil ini sudah selesai, maka ia kembali dipanggil Bapa ke surga.

Bahkan  saat pemakamannya, di tengah-tengah cuaca yang sepanjang hari dipenuhi hujan  deras, ketika kebaktian pamakaman dimulai, dan ketika sang pemimpin Ibadat  menyerukan "Semoga prosesi pemakaman ini diliputi dengan cuaca cerah… Tuhan,  walaupun kami tidak dapat melihat dengan mata kami tapi kami yakin Tuhan hadir  di tempat ini," detik itu juga, gemuruh guntur berbunyi seakan langit menjawab.  Dan hujan yang sepanjang hari menyelimuti bumi, seketika berhenti. Semua yang  menghantar ke pemakaman ini dengan tertegun berujar dalam hati, "Sungguh ia  benar-benar dikasihi Tuhan".

Segalanya  berjalan lancar, kepergian sang malaikat kecil bahkan didoakan dan dihantar oleh  beratus-ratus pelayat. Walaupun Olivia sudah tidak ada di dunia, tapi karyanya  dalam dunia sungguh selalu akan dikenang. Karena  bukan diukur dari berapa lama kita tinggal di dunia, tetapi seberapa berartinya  hidup yang kita jalani.

Selamat  jalan Olivia, doa kami menyertaimu selalu. Dan  kami percaya, engkau juga senantiasa mendoakan kami dari sana. (sanz)

Mana Yang Lebih Hebat???

Kakek meletakkan suratkabar yang ia baca, kemudian menatapku melewati kaca mata plusnya yang tebal.
"Apa itu CERDAS?" tanyanya.
"Pandai berpikir." jawabku.
Kakek mengangguk. "Lalu apa itu RAJIN?"
"Suka bekerja." jawabku lagi.
"Kemarilah." Ia melambaikan tangan agar aku duduk di sisinya. Aku mendekat dan duduk di kursi di sampingnya. Melihat dari dekat wajah kakek yang diukir guratan usia tua, dibingkai sepasang mata teduh yang menyimpan selaksa kebijaksanaan.
"Nah, sekarang katakan, apa yang kau naiki kemarin waktu menuju ke rumah kakek?"
"Mobil."
"Benar, mobil. Apa yang membuatnya bergerak?"
"Mm... Roda."
"Apakah roda hanya dapat melaju lurus ke depan?"
Aku menggeleng. "Tidak, roda dapat berbelok-belok. "
"Mengapa demikian?"
"Karena ada kemudinya." Jawabku lagi. Masih tak memahami apa hubungan semua ini dengan pertanyaanku tadi.
Kakek tersenyum.
"'Roda' adalah 'rajin', karena ia selalu bergerak. Itulah kewajibannya, pekerjaannya, tugas yang harus selalu ia lakukan. 'Kemudi' adalah 'cerdas', karena ialah yang berpikir, menentukan kemana roda harus berbelok, kekanan, atau ke kiri."
"Berarti 'cerdas' lebih hebat, karena tanpa kemudi, roda tak dapat mengerti kemana harus mengarahkan lajunya!" Aku berseru.
"Begitukah? Jika tak ada roda apakah ia akan tetap hebat? Apa jadinya kemudi tanpa roda, apakah mobil tetap dapat melaju?" Kakek bertanya.
"Berarti... 'rajin' lebih hebat. Walaupun tanpa kemudi, ia masih dapat melaju." sahutku ragu-ragu.
"Dan membiarkan mobilnya menabrak segala sesuatu, karena tidak mengikuti alur jalan yang berliku?"
Aku memandang kakek.
"Cucuku... Keduanya tidak akan menjadi hebat, bila berdiri sendiri-sendiri, terpisah, tanpa mau bergabung. Karena kehebatan itu hanya muncul bila mereka saling mendukung dan bekerja sama. Kemudi yang menentukan arahnya, dan roda yang melajukan mobil sesuai tugasnya."
Kakek menatapku, "Kau tahu, apa yang membuat keduanya bekerja bersama?"
Aku menggeleng.
"Pengemudi mobilnya. Yang mengatur kemudi dan roda agar saling mendukung dan berjalan bersama. Bagaimana laju mobilmu, halus atau kasar, menabrak atau lancar, tergantung siapa yang duduk di tempat itu." jawab Kakek.
"Ia adalah hatimu." Telunjuknya terarah ke dadaku.
"Yang mengatur lajunya langkahmu. Dengannya kau memilih, apakah hanya menjadi cerdas, atau hanya menjadi rajin, atau memutuskan mendudukkan keduanya bersisian dan saling melengkapi satu sama lain.
Secerdas apapun seseorang, sebesar apapun idenya, tak akan berguna tanpa kerja keras yang mewujudkannya menjadi nyata.
Serajin apapun seseorang, bila itu dilakukan tanpa pemikiran, hasilnya hanya akan menjadi sia-sia."
Kakek menatapku dengan bijak.
"Jadi, menurutmu, mana yang lebih hebat, menjadi cerdas atau menjadi
rajin?"
"Menjadi keduanya." Kataku mantap, dengan senyum lebar membalas senyumnya.