Pria itu sedari tadi terus menundukkan kepalanya, seakan ingin menyembunyikan semburat pucat wajahnya. Maklum, selama 4 tahun ini ia bekerja di perut bumi, tambang, jarang sekali tersiram matahari. Berulang kali ia meremas tangannya yang ia tautkan, sesekali menghembuskan nafas beratnya. Dadanya teramat sesak dan merasakan tenggorokannya terasa tersendat, ratusan kata-kata yang sejak tadi sudah dirangkai kini sangat sulit untuk ia ungkapkan.
Setelah 4 tahun berpisah, kini ia bagaikan malu dan tanpa daya berhadapan pada kakak kandungnya yang tampil di depannya. Bukan karena penampilan kakaknya yang total sudah berbeda, rapi, berish dan tampan, bukan juga karena kakaknya sudah menyandang gelar terhormat di bidang seni dari fakultas seni di Nuremberg, Bayern, Jerman. Ada alasan kuat di hatinya.
Ia memejamkan matanya sejenak berusaha untuk menguatkan dan meyakinkan hatinya kalau ia benar-benar harus mengungkapkan kata-kata yang sudah ia susun itu kepada
Kakaknya... Mulutnya yang sedari tadi terkunci, akhirnya dibuka paksa... suaranya parau terkesan bergetar :
" Kak... Maafkan saya... Saya bukan tidak mau menempati janji... Tapi kedua tangan saya telah hancur. Untuk memegang gelas saja, saya harus gunakan dua tangan, mana mampu memagang pen atau kuas lagi. Sudah terlambat Kak!. Saya tidak dapat kuliah lagi", sembari berkata ia sembari mengeluarkan kedua tangannya yang masih dalam kondisi taut itu, diletakkan di meja.
Betul, kedua tangan itu kini kasar dan banyak bekas luka. Tepian kuku-kukunya hitam tebal , juga tak terhitung bekas luka di jari jarinya, bahkan sebagian jarinya telah tidak dapat lurus lagi. Ini diperparah dengan penyakit reumatik di tangan kanannya. Semua ini terjadi dalam 4 tahun, setelah ia banting tulang kerja di tambang.
Pria yang ia panggil kakak itu, menatap intens kedua tangan adiknya, dia hampir tak percaya apa yang ia dengar dan lihat. Rasanya berton-ton beban di kepalanya, juga terasa ribuan jarum menusuk ke hatinya, dadanya sesak. Sambil mendekap erat-erat kedua tangan adiknya, cucuran air mata menetes kejar kejaran keluar dari ujung matanya.
"Adik,, maafkan saya...sayalah yang salah. Saya sudah begitu egois...demi belajar telah menghancurkan hidupmu"
Empat Tahun Sebelumnya
Albrecht Durer, anak sulung, bersama adiknya Franz Knigstein. Kedua mempunya cita-cita tinggi dan mimpi besar. Mereka sadar hidup di desa terpencil jauh dari kota Nuremberg, akan seperti pria di desa itu, hanya bekerja di tambang. Tapi, mereka ingin bisa mempunyai masa depan baik,masuk ke Universitas Nuremberg, yang terkenal menelorkan seniman top.
Dengan mempunyai 18 saudara, mereka yakin ayahnya tidak mungkin menyekolahkan mereka kesana, walaupun berprofesi sebagai berdagang emas, bekerja 18 jam sehari, ayahnya hanya mampu membesarkan mereka dengan pas pasan saja. Maklum di abad 15, belum dikenal program KB.
Untuk bisa tercapai impiannya, mereka sepakat untuk secara bergantian belajar dan bekerja. Sebuah uang logampun dijadikan penentu pemenang dalam undi uang logam. Yang keluar sebagai pemenang, akan terlebih dahulu belajar, dan dibiayai oleh yang kalah, dengan bekarja di tambang. Setelah 4 tahun kemudian, akan bergilir perannya. Seperti kita ketahui, Albrecht keluar sebagai pemenang.
* * * * *
Untuk menghormati pengorbanan Franz. Tahun 1490, Albrecht yang jenius kemudian diam diam membuat sketsa tangan adiknya, saat sedang berdoa, yang kemudian terkenal dengan lukisan "Praying Hands"
Kini, 5000 tahun telah berlalu, master piece itu tersimpan baik di musium Jerman. Suatu lukisan yang menunjukkan Kerja Keras, Bersyukur, Kasih, Kesetian dan Pengorbanan.
Ingatlah teman teman, saat Anda mendekapkan tangan seperti Franz, renungkanlah sejenak akan mereka yang telah berjasa, berkorban, demi dan untuk Kesuksesan Anda. Sebagai ucapan bersyukur, balaslah Cinta mereka, dengan menjadi orang berguna untuk orang-orang lain, untuk masyarakat , untuk dunia..... Memang itulah tujuan hidup seorang manusia.
Sent from Samsung Mobile.