Rabu, 21 April 2010

Tukang Listrik yang Sukses Jadi Koboi



TIADA hewan buruan yang luput dari laras si Smith & Wesson. Begitulah mitos yang berkembang di kalangan pemburu binatang liar. Bagi mereka, sejatinya, Smith & Wesson adalah legenda.
Pada awalnya, merek senjata api ini identik dengan pistol jenis revolver Kemudian kesohor ke seluruh dunia, seiring dengan beredarnya film-film koboi produksi Hollywood. Maklum saja, hampir seluruh tokoh dalam film yang menggambarkan kehidupan para koboi di era 1800-an itu selalu dilengkapi senjata merek ini. Tak kurang dari aktor dan sutradara kawakan sekaliber Clint Eastwood pun menyanjungnya. Tanpa Smith & Wesson, katanya, film akan jadi terasa hambar.
Begitu kesohornya, sehingga memicu kalangan penggemarnya cenderung fanatik. Lihat saja ritual yang dilakukan para pemburu di Amerika. Sebelum masuk hutan, mereka menggunakan cologne Smith & Wesson beraroma kayu-kayuan, yang per botolnya berharga US$ 150. Mereka juga hanya akan melahap daging buruannya jika dimasak di atas pemanggang Smith &Wesson (357 Magnum Wood Pellet Smoker). Untuk yang terakhir itu, harga per unitnya bisa mencapai US$ 1.000.
Kendati produk-produk tadi begitu digemari, tapi sebaliknya dengan industri pembuatnya, Smith & Wesson Holding Corporation, bisa dibilang kondisinya sangat memprihatinkan. Paling tidak sejak tahun 2000, perusahaan yang telah beroperasi sejak 1852 ini tidak pernah meraih untung. Penyebabnya, lantaran ngotot mempertahankan teknologi yang sudah usang, sehingga harga setiap produk Smith &Wesson jadi terasa amat mahal, alias tidak mampu berkompetisi.
Melihat situasi yang tak menguntungkan itu, para penentu di Smith &Wesson pun sadar bahwa mereka harus segera mengambil langkah penyelamatan. Maka pada 2004 iklim pembaruan di perusahaan yang bermarkas di 2100 Roosevelt Avenue Springfield, Massachusetts, Amerika, ini pun mulai digencarkan. Salah satu yang dinilai paling strategis adalah mengangkat Michael F. Golden sebagai chief executive officer (CEO) yang baru.
Langkah tersebut, boleh jadi, kebijakan yang tepat. Sebab, setelah dikendalikan oleh pria yang sebagian rambutnya mulai rontok itu, Smith & Wesson mulai terasa bergairah lagi. Tak mau mengulang kesalahan yang dilakukan para pendahulunya, Michael pun melakukan berbagai terobosan baru. Salah satu yang dinilai paling penting adalah membenahi sektor produksi.
Sebelumnya, hampir semua produk senjata Smith & Wesson dibuat dari logam berat. Tentunya, untuk ukuran selera pasar sekarang ini—yang menggemari sesuatu yang lebih praktis dan ringan—produk seperti itu dipandang sudah kuno, alias nilai jualnya sangat rendah. Lihat saja yang dilakukan para pesaingnya, seperti Berreta dan Colt, mereka sudah lebih dulu memasarkan senjata berbahan baku logam yang lebih ringan.
Oleh karena itu, rupanya, mengapa skala penjualan Smith & Wesson merosot drastis, bahkan harus merugi. Padahal sebelumnya, hampir 90% pistol yang digunakan oleh para polisi di Negara Bagian Massachusetts adalah buatan industri ini. Belakangan, permintaannya terus merosot, hingga tinggal 10%.

MENCIPTAKAN PRODUK INOVATIF SESUAI SELERA PASAR
Perombakan yang dilakukan Michael, diawali dengan merekrut tenaga ahli selevel eksekutif dari berbagai perusahaan besar sekaliber Coca Cola, Harley Davidson, dan Frito-Lay. Setelah itu, ia memutuskan untuk mengubah seluruh model produk senjatanya. Intinya, desain baru ini dirancang sesuai dengan selera pasar.
Salah satu contohnya adalah merancang ulang i-Bolt Rifle, senjata laras panjang yang paling digemari kalangan pemburu Yakni dengan memberi tekstur seperti warna kayu, sehingga terlihat lebih elegan. Selain itu, beberapa parts pada produk revolvernya pun diganti dengan bahan plastik yang lebih ringan.
Dan hasilnya, tak sia-sia. Setelah dilakukan perombakan di sana-sini, pasar pun kembali meliriknya. Salah satu buktinya adalah permintaan pistol dari pihak kepolisian setempat terus meningkat. Kini, industri ini telah memasok lebih dari 40% kebutuhan pistol kepolisian di Massachusetts.
Langkah pembaruan ala Michael tak berhenti sampai di situ. Ia juga mulai merintis memproduksi berbagai produk baru. Uniknya, barang-barang anyar ini tidak berhubungan dengan senjata. Di antaranya parfum, pemanggang daging, sepeda, jaket, korek api, alarm, dan produk merchandise lainnya. Rupanya, Michael belajar dari keberhasilan yang telah dicapai oleh Coca Cola dan Harley Davidson yang terkenal inovatif menciptakan berbagai barang penunjang yang digemari pasar. "Strategi ini dilakukan untuk lebih mendekatkan Smith & Wesson dengan kalangan penggemarnya," ujarnya, sambil berseri.
Dan gebrakan Michael yang tergolong drastis adalah ia tidak lagi memosisikan Smith & Wesson sebagai industri pembuat senjata. Tapi, sejak ia menjabat sebagai CEO di sana, Smith & Wesson diposisikan sebagai perusahaan yang menyediakan peralatan keamanan dan olahraga (safety, protection, security and sport).
Tak hanya itu, untuk menggenjot produksi senjatanya, industri ini menggandeng sejumlah mitra. Selain itu, Smith & Wesson juga mengakuisisi Thompson Center Arms senilai US$ 70 juta. Perusahaan ini merupakan produsen senjata laras panjang terbaik di Amerika. Langkah itu dilakukannya, mengingat bisnis senjata laras panjang di Amerika tengah mengalami booming. Tahun lalu, total omzet yang diraih para produsen senjata laras panjang di Negeri Abang Sam mencapai US$ 1,1 miliar. Nilai ini dua kali lipat dari total penjualan pistol di Amerika.
Berkat berbagai strategi itu, akhirnya mendongkrak kinerja Smith & Wesson jadi lebih bersinar. Dari hasil memproduksi senjata sebanyak 6 juta pucuk per tahun, pendapatannya selama 2006 melonjak sebesar 27%. Untuk diketahui, omzetnya selama 2005 baru mencapai US$ 160 juta. Begitu juga dengan laba yang dipetiknya, naik 67% menjadi US$ 8,7 juta. Melihat trennya yang begitu cerah, Michael pun berani memprediksi bahwa pendapatan Smith & Wesson selama 2007 akan meningkat sekitar 40%.
Sebelum bergabung dengan Smith & Wesson, lelaki yang sekarang berumur 53 tahun itu tak pernah bersentuhan dengan bisnis senjata api. Awal karirnya dimulai dari industri peralatan listrik Black & Decker Corp. pada 1981. Debut awalnya di perusahaan itu sebagai staf di divisi marketing. Pengabdiannya di perusahaan itu berlangsung selama 15 tahun. Setelah itu, Michael mencoba peruntungan di perusahaan pembuat perlengkapan kamar mandi, Kohler Company. Dan sebelum menclok di Smith & Wesson, ia sempat menjadi direktur marketing di sebuah perusahaan konstruksi.

Tidak ada komentar: