Sembari ongkang-ongkang kaki, lenggang kangkung, dan tidur pulas, Lo Kheng Hong bisa menjadi miliarder di pasar saham dan mengeduk gain hingga 150.000%. Itukah buah filosofi ‘menjadi kaya sambil tidur’?
Asetnya di pasar saham disebut-sebut bernilai triliunan rupiah. Ia mengoleksi sejumlah saham yang mampu mencetak keuntungan investasi (capital gain) hingga ratusan, ribuan, bahkan ratusan ribu persen. Tapi, jangan bayangkan pria berusia 52 tahun ini punya karakter dan penampilan glamour, agresif, dinamis, meledak- ledak, atau beradrenalin tinggi.
Lo Kheng Hong adalah pribadi yang bersahaja, sabar, rendah hati, kalem, bahkan terkesan dingin. Boleh jadi, pembawaannya inilah yang menjadikan Kheng Hong sukses sebagai investor di pasar saham.
Yang pasti, Kheng Hong tak hanya lihai memilih saham-saham yang mampu menghasilkan gain besar. Ia juga mahir memosisikan diri di lantai bursa, baik saat pasar bearish maupun bullish. Tapi Kheng Hong bukan tipe investor yang sepanjang hari memelototi pergerakan harga saham atau setiap saat mencermati perkembangan isu, rumor, dan berita di lantai bursa, dengan kewaspadaan ekstra tinggi. Ia juga tidak melengkapi diri dengan handphone canggih, laptop terkini, notebook, iPad, atau perangkat paling mutakhir sejenisnya.
Kheng Hong memang lebih memosisikan diri sebagai investor jangka panjang ketimbang investor jangka pendek atau trader. Mungkin, itulah sebabnya, kalangan praktisi pasar saham menjulukinya sebagai ‘Warren Buffett Indonesia’.
“Investor di pasar saham kebanyakan ikut-ikutan dan tidak mengerti saham apa yang dibeli. Kebanyakan orang panik karena mereka tidak tahu apa yang mereka beli. Semakin cepat panik seorang investor, semakin menunjukkan bahwa ia tidak tahu apa-apa,” kata Lo Kheng Hong kepada wartawan Investor Daily Nurfiyasari dan Abdul Aziz serta pewarta foto Eko S Hilman di Jakarta, baru-baru ini.
Bagi ayah dua anak ini, lebih menguntungkan menjadi investor jangka panjang dibanding menjadi trader. “Kalau trading, dapatnya receh dan bisa bikin stres. Kalau pegang saham dalam jangka panjang, dapat uangnya besar,” ujar Kheng Hong.
Kematangan, kecerdasan, ketenangan, dan kesabaran telah menjadikan Lo Kheng Hong sebagai pemain saham sejati. Berkat itu pula ia berhasil lolos dari krisis moneter 1997- 1998, bahkan kemudian menangguk keuntungan hingga 150.000%. ”Waktu krisis 2008, saya sempat jatuh. Malah sewaktu krisis 1997-1998, saya sempat jatuh hingga uang saya tinggal 15%. Tapi uang itu saya tukar ke saham. Akhirnya uang saya meningkat 150.000% sampai saat ini,” tuturnya.
Yang unik, aset kekayaan Lo Kheng Hong hampir seluruhnya dalam bentuk saham sejumlah emiten di Bursa Efek Indonesia (BEI). Ia sama sekali tidak tergoda untuk mendiversifikasi investasinya ke instrumen lain, seperti emas, properti, atau kendaraan Bahkan, mantan kepala cabang Bank Ekonomi ini sama sekali tak tertarik untuk mendirikan perusahaan, termasuk perusahaan sekuritas.
“Saya hanya punya 15% dana cash untuk jaga-jaga supaya kalau terjadi krisis saya masih punya uang untukmembeli saham. Saya tidak bekerja, tidak punya perusahaan, tidak punya pelanggan seorang pun, tidak punya karyawan seorang pun, dan tak punya bos. Hanya punya seorang sopir dan dua pembantu,” papar Lo Kheng Hong yang sudah 22 tahun bermain saham.
Apa saja tips Lo Kheng Hong hingga ia mampu mengeduk keuntungan besar dari pasar saham? Bagaimana harus bersikap saat pasar mengalami bullish, bearish, atau crash? Berikut petikan lengkap wawancara dengan pria yang mengaku berasal dari keluarga tak mampu dan kelak berniat menyumbangkan kekayaannya kepada fakir miskin tersebut.
Kenapa Anda tertarik bermain saham?
Saya tertarik bermain saham karena saham dapat memberikan keuntungan yang besar dan tidak capek seperti di sektor riil.
Apa enaknya menjadi investor saham?
Pertama, seorang pemain saham dapat menjadi orang yang terkaya di dunia, seperti Warren Buffett. Banyak orang yang tidak tahu dan tidak percaya. Mereka hanya tahu banyak orang yang rugi, orang kaya jadi miskin karena bermain saham, bahkan ada yang bunuh diri karena saham.
Kedua, seorang pemain saham punya banyak waktu, bebas, dan tidak dipusingkan oleh urus-mengurus karyawan, pelanggan, dan lain-lain. Di perusahaan, status investor saham adalah sleeping partner, sehingga waktu luangnya bisa diisi dengan hal-hal yang disukai.
Ketiga, semua keuntungan perusahaan menjadi milik pemegang saham, padahal yang bekerja keras adalah direksi, komisaris, manajer, dan seluruh karyawan, tetapi mereka hanya menerima gaji dan bonus. Mereka tidak punya hak untuk mendapatkan bagian dari keuntungan perusahaan. Memiliki perusahaan yang untung besar seperti memiliki mesin pencetak uang.
Sejak kapan Anda bermain saham?
Saya bermain saham sejak 1989, 22 tahun yang lalu. Saya dilahirkan dari keluarga yang berpenghasilan rendah. Orangtua hanya pegawai kecil. Saat tamat SMA, saya belum punya biaya untuk kuliah. Kemudian saya jadi pegawai tata usaha di bank, waktu itu saya disuruh-suruh untuk fotokopi dan lainnya. Kemudian saya bisa bekerja sambil kuliah. Saya pilih kampus yang murah sesuai kemampuan keuangan. Saat bekerja di bank itulah, saya mulai main saham. Saya sempat menjadi kepala cabang. Saya kemudian keluar dari bank dan fokus main saham.
Anda saat ini punya saham apa saja?
Saya punya saham sekitar 30 emiten, antara lain di Multibreeder Adirama Indonesia Tbk (MBAI), dengan kepemilikan 8,29% lebih. Saham saya banyaknya bukan di LQ45. Kepemilikan saya di saham lain di bawah 5%. Saya tipe investor jangka panjang.
Kalau trading, dapatnya receh, kalau jangka panjang dapat uangnya besar. Saya pegang saham ini sudah enam tahun. Saya beli tahun 2005 seharga Rp 250 dan harganya sempat menyentuh Rp 31.500. Belum saya jual, padahal gain-nya sudah 12.600%.
Cara Anda memilih saham?
Saya lihat manajemen. Apakah menerapkan good corporate governance (GCG) atau tidak. Saya cari dari kompetitornya, biasanya mereka tahu. Saya cari tahu agar tidak beli kucing dalam karung, karena ini menyangkut harta saya. Jangan membeli sesuatu yang tidak kita tahu. Lihat manajemen, apakah pengelolanya jujur atau tidak. Jangan sampai pengelolanya suka ambil uang perusahaan, sehingga saya sebagai sleeping partner dirugikan.
Istilahnya, yang menjadi pertimbangan pertama adalah manajemen, kedua manajemen, ketiga manajemen, baru yang lain. Kemudian lihat sektor usahanya, bagus atau tidak. Ada sektor yang kurang menarik, misalnya sepatu, tekstil, dan garmen. Tetapi ada juga yang menarik, seperti kelapa sawit dan pakan ayam.
Orang banyak makan ayam karena ayam merupakan sumber protein termurah dan dampak negatifnya terhadap kesehatan lebih rendah dibanding yang lain. Perhatikan juga apakah emiten bersangkutan mengalami pertumbuhan atau tidak.
Kriteria pertumbuhan, konkretnya seperti apa?
Ada empat tipe perusahaan. Pertama, perusahaan yang rugi terus, ada yang kadang untung, dan kadang merugi. Kemudian, perusahaan yang untung besar terus, tapi stagnan. Ada juga perusahaan yang growing secara berkala, misalnya dari Rp 2 triliun, Rp 5 triliun, dan seterusnya. Ini perusahaan yang baik dan yang saya cari. Lihat kinerjanya lima tahun ke belakang. Lihat masa lalunya.
Bagaimana jika lima tahun pertama tumbuh, tetapi lima tahun berikutnya ternyata turun?
Biasanya kalau lima tahun ke belakang tumbuh, ke depannya akan mengalami hal yang sama. Kalau sudah lima tahun berturut-turut growing, tandanya itu super company.
Setelah melihat fundamental emiten, apa lagi yang Anda perhatikan?
Harga. Saya lihat dari price to earning ratio (PER)-nya. Jangan bilang saham A karena harganya Rp 250 dibilang murah, dan saham B yang harganya Rp 70.000 dibilang mahal. Maksudnya, saham yang harganya Rp 70.000 bisa lebih murah dibanding saham yang harganya Rp 250. Kita lihat kemampuan emitennya dalam membukukan keuntungan.
Berapa PER yang ideal saat membeli suatu saham?
Saya pikir, yang reasonable untuk dibeli yaitu yang PER-nya di bawah lima kali, itu sangat menarik dan potensial. Tapi biasanya perusahaan yang sudah baik dan manajemennya bagus, PER-nya sudah di atas 10 kali.
Soal timing, kapan saat yang paling tepat untuk masuk pasar?
Yang paling bagus membeli saham adalah saat sedang krisis seperti di Yunani, Eropa, dan AS. Ada pepatah lama yang tidak perlu dilupakan, buy on weakness. Dan, harus be greedy when others are fearful dan sebaliknya, be fearful when others greedy.
Bukankah itu sulit diterapkan?
Saya banyak baca buku tentang Warren Buffett. Saya belajar dari orang yang sudah terbukti berhasil investasi di pasar saham. Dia sudah membuktikannya, bahkan menjadi salah satu orang terkaya di dunia. Nggak mungkin kan kalau saya belajar dari Bernard Madoff? Ha, ha, ha, ha...
Ternyata orang seperti Madoff, mantan bos bursa Nasdaq tapi tidak bisa mengelola uang nasabah. Ini menunjukkan bahwa dia hanya tahu semua peraturan di bursa saham, tetapi tidak mengetahui bagaimana cara menjadi kaya di pasar saham.
Berarti, kuncinya ada di mental?
Mental bisa bagus saat kita tahu apa yang kita beli. Kebanyakan orang panic karena mereka tidak tahu apa yang mereka beli. Ini pelajaran penting. Saya berikan ilustrasi. Waktu itu saya ke Harvard University, saya tanya biaya kuliah di sana berapa? Ternyata bisa sampai US$ 40.000, keluar dari sana semua jadi orang pintar. Dengan belajar seharga US$ 40.000, kita bisa menjadi orang pintar.
Tapi di pasar saham, kita sudah habiskan puluhan miliar rupiah belum tentu jadi pintar, malah bisa tambah bingung, seperti Madoff yang sudah menghabiskan uang masyarakat sebesar US$ 60 miliar, apakah dia menjadi pintar? Bisa saja di penjara dia berpikir, kenapa saham yang dibeli turun dan yang dijual justru naik.
Jadi, intinya pintar saja tidak cukup. Untuk menjadi investor yang kuat, kita harus mengetahui perusahaan satu per satu. Semua orang bisa seperti itu, asalkan mau baca. Bacalah laporan keuangan emiten satu per satu.
Jadi, Anda tipe investor fundamental?
Saya 100% fundamental karena lihat manajemennya atau pertumbuhan perusahaan. Kalau teknikal, hanya grafik, semuanya diabaikan. Saya yakin itu tidak benar. Tapi memang harus selektif. Dari 400-an saham yang ada di bursa domestik, cukup banyak yang fundamentalnya bagus. Terkadang, ada yang terjebak.
Anda tidak memantau pergerakan harga saham setiap saat?
Kenapa kita pusing? Karena kita beli saham yang tidak kita ketahui. Ada yang tidak bisa tidur karena PER sahamnya 100 kali atau 200 kali. Lalu, kenapa kita tidak bisa tidur kalau PER-nya hanya lima kali?
Bukankah investor sering terbawa arus karena faktor nonfundamental?
Saya lihat investor di pasar modal kebanyakan ikut-ikutan. Saat market mengalami booming, semua masuk. Saat market buang-buang saham, mereka ikut-ikutan. Mayoritas hanya ikut-ikutan dan tidak mengerti apa yang dibeli. Jadi, belajarlah dari orang yang memang sudah berhasil dan ikuti langkahnya. Jangan percaya saat ada iklan yang bilang dapat untung besar saat indeks turun. Kalau bisa seperti itu, hebat sekali. Bahkan, orang sekelas Warren Buffett saja, saat pasar saham AS turun, dia juga mengalami kerugian.
Anda berinvestasi pada instrument selain saham?
Tidak, hanya saham. Hampir semua uang saya ada di pasar modal. Dana tunai saya hanya 15%, sisanya portofolio saham. Kenapa saya sisakan segitu? Itu untuk antisipasi kalau pasar modal kita jatuh, sehingga saya masih bisa beli saham lagi.
Dari mana Anda membiayai kebutuhan hidup sehari-hari?
Saya bisa hidup dari dividen yang saya terima. Misalnya harga saham suatu emiten yang saya beli bulan lalu Rp 610, sekarang harganya Rp 2.375, kemudian saya jual. Awalnya saya berniat menahannya untuk jangka panjang. Tapi kalau untungnya sudah sampai 300% dalam sebulan, saya lepas. Untuk emiten yang bagus sekali, tetap saya keep untuk jangka panjang. Kalau emitennya kurang meyakinkan dan naiknya signifikan, lebih baik saya lepas.
Saat krisis moneter 1997-1998 dan krisis finansial 2008, Anda mengalami kerugian juga?
Saya sempat mengalaminya juga. Waktu krisis 2008, saya sempat jatuh, tapi tetap be greedy when others are fearful. Malah sewaktu krisis 1997-1998, saya sempat jatuh hingga uang saya tinggal 15%. Tapi uang itu saya tukar ke saham, karena saya tahu pasar modal akan naik lagi. Dan, itu terbukti. Akhirnya uang saya meningkat 150.000%.
Bagaimana Anda menyikapi perkembangan harga saham saat ini, terutama yang terkait dengan krisis utang di Eropa dan krisis finansial di AS?
Saat IHSG terkoreksi, wajar saja kalau nilai portofolio saya ikut turun. Tetapi ketika turun, saya sama sekali tidak ikut-ikutan menjual, bahkan saya membeli dan menambah saham saya, karena saya yakin satu hari saham-saham saya akan naik kembali, bahkan dapat lebih tinggi dari sebelumnya.
Apa filosofi hidup Anda?
Filosofi hidup saya adalah bagaimana saya bisa menjadi kaya sambil tidur. Karena di perusahaan status saya adalah sleeping partner, saya tidur tetapi saham-saham perusahaan saya bekerja buat saya secara dahsyat. Getting rich while sleeping. Saya pakai waktu saya delapan jam untuk tidur, selebihnya saya pakai untuk bersenang-senang dan mengerjakan apa yang saya sukai.
Asetnya di pasar saham disebut-sebut bernilai triliunan rupiah. Ia mengoleksi sejumlah saham yang mampu mencetak keuntungan investasi (capital gain) hingga ratusan, ribuan, bahkan ratusan ribu persen. Tapi, jangan bayangkan pria berusia 52 tahun ini punya karakter dan penampilan glamour, agresif, dinamis, meledak- ledak, atau beradrenalin tinggi.
Lo Kheng Hong adalah pribadi yang bersahaja, sabar, rendah hati, kalem, bahkan terkesan dingin. Boleh jadi, pembawaannya inilah yang menjadikan Kheng Hong sukses sebagai investor di pasar saham.
Yang pasti, Kheng Hong tak hanya lihai memilih saham-saham yang mampu menghasilkan gain besar. Ia juga mahir memosisikan diri di lantai bursa, baik saat pasar bearish maupun bullish. Tapi Kheng Hong bukan tipe investor yang sepanjang hari memelototi pergerakan harga saham atau setiap saat mencermati perkembangan isu, rumor, dan berita di lantai bursa, dengan kewaspadaan ekstra tinggi. Ia juga tidak melengkapi diri dengan handphone canggih, laptop terkini, notebook, iPad, atau perangkat paling mutakhir sejenisnya.
Kheng Hong memang lebih memosisikan diri sebagai investor jangka panjang ketimbang investor jangka pendek atau trader. Mungkin, itulah sebabnya, kalangan praktisi pasar saham menjulukinya sebagai ‘Warren Buffett Indonesia’.
“Investor di pasar saham kebanyakan ikut-ikutan dan tidak mengerti saham apa yang dibeli. Kebanyakan orang panik karena mereka tidak tahu apa yang mereka beli. Semakin cepat panik seorang investor, semakin menunjukkan bahwa ia tidak tahu apa-apa,” kata Lo Kheng Hong kepada wartawan Investor Daily Nurfiyasari dan Abdul Aziz serta pewarta foto Eko S Hilman di Jakarta, baru-baru ini.
Bagi ayah dua anak ini, lebih menguntungkan menjadi investor jangka panjang dibanding menjadi trader. “Kalau trading, dapatnya receh dan bisa bikin stres. Kalau pegang saham dalam jangka panjang, dapat uangnya besar,” ujar Kheng Hong.
Kematangan, kecerdasan, ketenangan, dan kesabaran telah menjadikan Lo Kheng Hong sebagai pemain saham sejati. Berkat itu pula ia berhasil lolos dari krisis moneter 1997- 1998, bahkan kemudian menangguk keuntungan hingga 150.000%. ”Waktu krisis 2008, saya sempat jatuh. Malah sewaktu krisis 1997-1998, saya sempat jatuh hingga uang saya tinggal 15%. Tapi uang itu saya tukar ke saham. Akhirnya uang saya meningkat 150.000% sampai saat ini,” tuturnya.
Yang unik, aset kekayaan Lo Kheng Hong hampir seluruhnya dalam bentuk saham sejumlah emiten di Bursa Efek Indonesia (BEI). Ia sama sekali tidak tergoda untuk mendiversifikasi investasinya ke instrumen lain, seperti emas, properti, atau kendaraan Bahkan, mantan kepala cabang Bank Ekonomi ini sama sekali tak tertarik untuk mendirikan perusahaan, termasuk perusahaan sekuritas.
“Saya hanya punya 15% dana cash untuk jaga-jaga supaya kalau terjadi krisis saya masih punya uang untukmembeli saham. Saya tidak bekerja, tidak punya perusahaan, tidak punya pelanggan seorang pun, tidak punya karyawan seorang pun, dan tak punya bos. Hanya punya seorang sopir dan dua pembantu,” papar Lo Kheng Hong yang sudah 22 tahun bermain saham.
Apa saja tips Lo Kheng Hong hingga ia mampu mengeduk keuntungan besar dari pasar saham? Bagaimana harus bersikap saat pasar mengalami bullish, bearish, atau crash? Berikut petikan lengkap wawancara dengan pria yang mengaku berasal dari keluarga tak mampu dan kelak berniat menyumbangkan kekayaannya kepada fakir miskin tersebut.
Kenapa Anda tertarik bermain saham?
Saya tertarik bermain saham karena saham dapat memberikan keuntungan yang besar dan tidak capek seperti di sektor riil.
Apa enaknya menjadi investor saham?
Pertama, seorang pemain saham dapat menjadi orang yang terkaya di dunia, seperti Warren Buffett. Banyak orang yang tidak tahu dan tidak percaya. Mereka hanya tahu banyak orang yang rugi, orang kaya jadi miskin karena bermain saham, bahkan ada yang bunuh diri karena saham.
Kedua, seorang pemain saham punya banyak waktu, bebas, dan tidak dipusingkan oleh urus-mengurus karyawan, pelanggan, dan lain-lain. Di perusahaan, status investor saham adalah sleeping partner, sehingga waktu luangnya bisa diisi dengan hal-hal yang disukai.
Ketiga, semua keuntungan perusahaan menjadi milik pemegang saham, padahal yang bekerja keras adalah direksi, komisaris, manajer, dan seluruh karyawan, tetapi mereka hanya menerima gaji dan bonus. Mereka tidak punya hak untuk mendapatkan bagian dari keuntungan perusahaan. Memiliki perusahaan yang untung besar seperti memiliki mesin pencetak uang.
Sejak kapan Anda bermain saham?
Saya bermain saham sejak 1989, 22 tahun yang lalu. Saya dilahirkan dari keluarga yang berpenghasilan rendah. Orangtua hanya pegawai kecil. Saat tamat SMA, saya belum punya biaya untuk kuliah. Kemudian saya jadi pegawai tata usaha di bank, waktu itu saya disuruh-suruh untuk fotokopi dan lainnya. Kemudian saya bisa bekerja sambil kuliah. Saya pilih kampus yang murah sesuai kemampuan keuangan. Saat bekerja di bank itulah, saya mulai main saham. Saya sempat menjadi kepala cabang. Saya kemudian keluar dari bank dan fokus main saham.
Anda saat ini punya saham apa saja?
Saya punya saham sekitar 30 emiten, antara lain di Multibreeder Adirama Indonesia Tbk (MBAI), dengan kepemilikan 8,29% lebih. Saham saya banyaknya bukan di LQ45. Kepemilikan saya di saham lain di bawah 5%. Saya tipe investor jangka panjang.
Kalau trading, dapatnya receh, kalau jangka panjang dapat uangnya besar. Saya pegang saham ini sudah enam tahun. Saya beli tahun 2005 seharga Rp 250 dan harganya sempat menyentuh Rp 31.500. Belum saya jual, padahal gain-nya sudah 12.600%.
Cara Anda memilih saham?
Saya lihat manajemen. Apakah menerapkan good corporate governance (GCG) atau tidak. Saya cari dari kompetitornya, biasanya mereka tahu. Saya cari tahu agar tidak beli kucing dalam karung, karena ini menyangkut harta saya. Jangan membeli sesuatu yang tidak kita tahu. Lihat manajemen, apakah pengelolanya jujur atau tidak. Jangan sampai pengelolanya suka ambil uang perusahaan, sehingga saya sebagai sleeping partner dirugikan.
Istilahnya, yang menjadi pertimbangan pertama adalah manajemen, kedua manajemen, ketiga manajemen, baru yang lain. Kemudian lihat sektor usahanya, bagus atau tidak. Ada sektor yang kurang menarik, misalnya sepatu, tekstil, dan garmen. Tetapi ada juga yang menarik, seperti kelapa sawit dan pakan ayam.
Orang banyak makan ayam karena ayam merupakan sumber protein termurah dan dampak negatifnya terhadap kesehatan lebih rendah dibanding yang lain. Perhatikan juga apakah emiten bersangkutan mengalami pertumbuhan atau tidak.
Kriteria pertumbuhan, konkretnya seperti apa?
Ada empat tipe perusahaan. Pertama, perusahaan yang rugi terus, ada yang kadang untung, dan kadang merugi. Kemudian, perusahaan yang untung besar terus, tapi stagnan. Ada juga perusahaan yang growing secara berkala, misalnya dari Rp 2 triliun, Rp 5 triliun, dan seterusnya. Ini perusahaan yang baik dan yang saya cari. Lihat kinerjanya lima tahun ke belakang. Lihat masa lalunya.
Bagaimana jika lima tahun pertama tumbuh, tetapi lima tahun berikutnya ternyata turun?
Biasanya kalau lima tahun ke belakang tumbuh, ke depannya akan mengalami hal yang sama. Kalau sudah lima tahun berturut-turut growing, tandanya itu super company.
Setelah melihat fundamental emiten, apa lagi yang Anda perhatikan?
Harga. Saya lihat dari price to earning ratio (PER)-nya. Jangan bilang saham A karena harganya Rp 250 dibilang murah, dan saham B yang harganya Rp 70.000 dibilang mahal. Maksudnya, saham yang harganya Rp 70.000 bisa lebih murah dibanding saham yang harganya Rp 250. Kita lihat kemampuan emitennya dalam membukukan keuntungan.
Berapa PER yang ideal saat membeli suatu saham?
Saya pikir, yang reasonable untuk dibeli yaitu yang PER-nya di bawah lima kali, itu sangat menarik dan potensial. Tapi biasanya perusahaan yang sudah baik dan manajemennya bagus, PER-nya sudah di atas 10 kali.
Soal timing, kapan saat yang paling tepat untuk masuk pasar?
Yang paling bagus membeli saham adalah saat sedang krisis seperti di Yunani, Eropa, dan AS. Ada pepatah lama yang tidak perlu dilupakan, buy on weakness. Dan, harus be greedy when others are fearful dan sebaliknya, be fearful when others greedy.
Bukankah itu sulit diterapkan?
Saya banyak baca buku tentang Warren Buffett. Saya belajar dari orang yang sudah terbukti berhasil investasi di pasar saham. Dia sudah membuktikannya, bahkan menjadi salah satu orang terkaya di dunia. Nggak mungkin kan kalau saya belajar dari Bernard Madoff? Ha, ha, ha, ha...
Ternyata orang seperti Madoff, mantan bos bursa Nasdaq tapi tidak bisa mengelola uang nasabah. Ini menunjukkan bahwa dia hanya tahu semua peraturan di bursa saham, tetapi tidak mengetahui bagaimana cara menjadi kaya di pasar saham.
Berarti, kuncinya ada di mental?
Mental bisa bagus saat kita tahu apa yang kita beli. Kebanyakan orang panic karena mereka tidak tahu apa yang mereka beli. Ini pelajaran penting. Saya berikan ilustrasi. Waktu itu saya ke Harvard University, saya tanya biaya kuliah di sana berapa? Ternyata bisa sampai US$ 40.000, keluar dari sana semua jadi orang pintar. Dengan belajar seharga US$ 40.000, kita bisa menjadi orang pintar.
Tapi di pasar saham, kita sudah habiskan puluhan miliar rupiah belum tentu jadi pintar, malah bisa tambah bingung, seperti Madoff yang sudah menghabiskan uang masyarakat sebesar US$ 60 miliar, apakah dia menjadi pintar? Bisa saja di penjara dia berpikir, kenapa saham yang dibeli turun dan yang dijual justru naik.
Jadi, intinya pintar saja tidak cukup. Untuk menjadi investor yang kuat, kita harus mengetahui perusahaan satu per satu. Semua orang bisa seperti itu, asalkan mau baca. Bacalah laporan keuangan emiten satu per satu.
Jadi, Anda tipe investor fundamental?
Saya 100% fundamental karena lihat manajemennya atau pertumbuhan perusahaan. Kalau teknikal, hanya grafik, semuanya diabaikan. Saya yakin itu tidak benar. Tapi memang harus selektif. Dari 400-an saham yang ada di bursa domestik, cukup banyak yang fundamentalnya bagus. Terkadang, ada yang terjebak.
Anda tidak memantau pergerakan harga saham setiap saat?
Kenapa kita pusing? Karena kita beli saham yang tidak kita ketahui. Ada yang tidak bisa tidur karena PER sahamnya 100 kali atau 200 kali. Lalu, kenapa kita tidak bisa tidur kalau PER-nya hanya lima kali?
Bukankah investor sering terbawa arus karena faktor nonfundamental?
Saya lihat investor di pasar modal kebanyakan ikut-ikutan. Saat market mengalami booming, semua masuk. Saat market buang-buang saham, mereka ikut-ikutan. Mayoritas hanya ikut-ikutan dan tidak mengerti apa yang dibeli. Jadi, belajarlah dari orang yang memang sudah berhasil dan ikuti langkahnya. Jangan percaya saat ada iklan yang bilang dapat untung besar saat indeks turun. Kalau bisa seperti itu, hebat sekali. Bahkan, orang sekelas Warren Buffett saja, saat pasar saham AS turun, dia juga mengalami kerugian.
Anda berinvestasi pada instrument selain saham?
Tidak, hanya saham. Hampir semua uang saya ada di pasar modal. Dana tunai saya hanya 15%, sisanya portofolio saham. Kenapa saya sisakan segitu? Itu untuk antisipasi kalau pasar modal kita jatuh, sehingga saya masih bisa beli saham lagi.
Dari mana Anda membiayai kebutuhan hidup sehari-hari?
Saya bisa hidup dari dividen yang saya terima. Misalnya harga saham suatu emiten yang saya beli bulan lalu Rp 610, sekarang harganya Rp 2.375, kemudian saya jual. Awalnya saya berniat menahannya untuk jangka panjang. Tapi kalau untungnya sudah sampai 300% dalam sebulan, saya lepas. Untuk emiten yang bagus sekali, tetap saya keep untuk jangka panjang. Kalau emitennya kurang meyakinkan dan naiknya signifikan, lebih baik saya lepas.
Saat krisis moneter 1997-1998 dan krisis finansial 2008, Anda mengalami kerugian juga?
Saya sempat mengalaminya juga. Waktu krisis 2008, saya sempat jatuh, tapi tetap be greedy when others are fearful. Malah sewaktu krisis 1997-1998, saya sempat jatuh hingga uang saya tinggal 15%. Tapi uang itu saya tukar ke saham, karena saya tahu pasar modal akan naik lagi. Dan, itu terbukti. Akhirnya uang saya meningkat 150.000%.
Bagaimana Anda menyikapi perkembangan harga saham saat ini, terutama yang terkait dengan krisis utang di Eropa dan krisis finansial di AS?
Saat IHSG terkoreksi, wajar saja kalau nilai portofolio saya ikut turun. Tetapi ketika turun, saya sama sekali tidak ikut-ikutan menjual, bahkan saya membeli dan menambah saham saya, karena saya yakin satu hari saham-saham saya akan naik kembali, bahkan dapat lebih tinggi dari sebelumnya.
Apa filosofi hidup Anda?
Filosofi hidup saya adalah bagaimana saya bisa menjadi kaya sambil tidur. Karena di perusahaan status saya adalah sleeping partner, saya tidur tetapi saham-saham perusahaan saya bekerja buat saya secara dahsyat. Getting rich while sleeping. Saya pakai waktu saya delapan jam untuk tidur, selebihnya saya pakai untuk bersenang-senang dan mengerjakan apa yang saya sukai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar