Kuusap tangan keriputmu. Perlahan. Karena aku sendiri tak punya kekuatan sebesar dulu. Semua gerakku kulakukan hati-hati. Maklum, kita sudah tidak muda lagi. Tetapi, inginku untuk terus membelai wajahmu. Dalam kelembutan yang masih tersisa. Dalam pelannya gerakku yang kadang tersendat. Aku masih ingin luapkan cinta dalam hati ini kepadamu.
Kuusap rambut di kepalamu yang helainya tak lagi sama seperti ketika kita berjumpa. Helainya makin tipis, berkurang satu demi satu. Sama seperti rambut panjangku yang rontok hari demi hari. Memenuhi lantai rumah yang sering disapu perlahan. Hanya ingin ungkapkan rasa yang pernah bersemi. Di masa lalu. Dulu. Dan berharap rasa itu terus ada dan tetap abadi sampai saat maut memisahkan kita.
Kuambilkan kaca matamu. Kaca mata yang sama dengan milikku. Karena mata tua kita tak lagi awas melihat apa yang terjadi di depan kita. Terkadang huruf-huruf di surat kabar pun tak terbaca jelas. Tak mengapa, Sayangku, asal kita tetap punya mata hati yang jernih, sehingga mampu meneropong dunia lewat hal-hal yang pernah dan masih akan kita lalui. Suka dan duka, yang semuanya membuat pengalaman kita akan hidup semakin kaya.
Kuingat ketika kita tertawa saat melepas gigi palsu yang memenuhi mulut kita. Rasanya sudah lama ya, kita tak punya gigi lengkap lagi. Menjadi kegiatan yang lucu karena pada akhirnya kita bisa bersiul sambil menyikat gigi. Siulan lagu-lagu kegemaran yang mengingatkan akan masa lalu yang penuh cerita bagi kita berdua.
Suatu hari, ketika rumah yang dulu isinya tangisan, ompolan, dan mainan anak-anak kita Menjadi sepi dan senyap karena mereka sudah beranjak dewasa. Mereka pergi mengejar cita dan cinta. Kuliah. Bekerja. Menikah. Dan tinggallah kita dalam rasa sepi kembali berdua. Mengunjungi mereka dan kunjungan dari mereka adalah hadiah terbesar bagi kita. Kita mulai saling memperhatikan (lagi). Setelah sekian lama perhatian itu terpecah kepada buah kasih kita.
Suatu ketika, ketika rambut kita sama-sama memutih. Ketika eros (cinta yang dilandasi hawa nafsu) sudah jadi philia (cinta penuh persahabatan). Ketika kita tak lagi sanggup marah-marah karena suara sudah tak senyaring dulu. Meski masih saja kita berdebat mengenai soal-soal tak penting. Saling kesal, namun pernah juga berakhir dengan tertawa bersama.
Biarlah kita tetap ingat cinta yang membawa kita sampai hari ini. Merenda kasih yang sarat konsekuensi penerimaan tanpa syarat sampai akhir nanti. Biarlah kita ingat, cinta ini bukan datang dengan sendirinya. Melainkan dia memang dibina, dipertahankan, didoakan, dan dijalankan.
Suatu ketika, saat kita sama-sama tua. Dengan kondisi tubuh yang tak lagi prima: mungkin pikun-mungkin tangan gemetar- mungkin sakit-sakitan.
Biarlah kita tetap miliki cinta yang tak lekang dimakan usia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar