Kisah kelam, kelaparan dan kemiskinan pernah merenggut nyawa 1,2 juta penduduk negara ini selama 4 dekade. Di tahun 80-an Ethiopia adalah cerita tentang kemiskinan dan kematian yang begitu menyayat hati. Lebih dari separuh penduduknya terancam kelaparan. Kita pernah mengirimkan 100.000 ton gabah ke negara di benua hitam ini.
Iwan Fals bahkan menuliskan kepiluannya tentang kondisi Ethiopia dalam lirik lirik lagunya berjudul sama dengan nama negara itu. Mungkin semua orang pernah berpikir, bahwa negara ini akan punah karena kelaparan dan kemiskinan. Tapi ternyata tidak. Dalam dua dekade terakhir, Ethiopia melesat menjadi negara dengan ekonomi terkuat di Afrika. Orang orang Ethiopia yang pernah berada pada era paling rendah di negaranya, menyebut ini keajaiban.
Negara yang beribukota di Addis Ababa tersebut, makin mari makin makmur, kian dikenal secara positif, dan juga menjadi model bagi pembangunan bangsa-bangsa Afrika. Menurut Bank Dunia, sejak tahun 2000 hingga 2018, Ethiopia adalah negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di dunia di antara negara-negara yang berpenduduk lebih dari 10 juta jiwa.
Yang menarik, pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Ethiopia tak hanya dinikmati segelintir orang, namun juga terdistribusikan secara luas. Kemiskinan turun menjadi 31% pada 2015 (menurut Bank Dunia), dan tingkat harapan hidup naik dari 52 tahun di tahun 2000, menjadi 66 tahun di tahun 2017, tingkat kematian bayi juga berkurang 50% selama periode tersebut.
Selama periode tersebut, Bank Dunia juga mencatat bahwa Ethiopia menduduki peringkat ke-12 sebagai Negara Adidaya Pertanian dan Ketahanan Pangan menurut Food Sustainability Index (FSI) tepat satu tangga di bawah Amerika Serikat (urutan ke-11). Pada saat yang sama, Ethiopia melakukan pergeseran secara bertahap dari ketergantungan tradisionalnya pada pertanian menuju industry dan jasa.
Pembangunan infrastruktur juga dilakukan dengan sangat pesat di negara tersebut. Dalam dua dekade terakhir, China menggelontorkan begitu banyak investasi dan pinjaman untuk pembangunan infrastruktur, termasuk jalur kereta api yang menghubungkan Addis Ababa, ibukota Ethiopia dan tetangganya Djibouti senilai $ 4 milyar. Sebagai negeri yang tak punya laut, Ethiopia perlu mengakses laut, dan jalur kereta api sepanjang 750 km tersebut akan berfungsi sebagai penghubungnya dengan laut, yakni Teluk Persia, melalui pelabuhan di Djibouti.
Ethiopia juga membangun sistem kereta ringan (LRT) bawah tanah pertama di kawasan Sub-Sahara Afrika. Jalur kereta ini melintasi pusat kota Addis Ababa dan mampu membawa 30.000 penumpang per jam. Menurut Ian Taylor, pengamat hubungan internasional dari University of St. Andrews, Skotlandia, percepatan pembangunan di kota Addis Ababa, mirip seperti yang pernah terjadi di kota-kota China pada awal abad ke-21.
Di berbagai sektor Ethiopia sedang membangun, mereka memberi kemudahan pada investor untuk membangun negara itu. Di dunia penerbangan, mereka punya Ethiopian Air, yang terbaik di Afrika saat ini dan salah satu armada penerbangan terbaik di dunia.
Apa yang pernah dituliskan Iwan Fals dalam lirik lirik lagunya, kini hanya tinggal cerita. Generasi generasi akhir Ethiopia tidak lagi merasakan kelaparan, itu cerita orang tua mereka. Saat ini, produk produk fashion dunia ternama seperti Michael Kors dan Marc Jacobs punya pabrik di negara tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar