Mo Yi lahir dan dibesarkan di Tibet, seorang putra dari keluarga anggota Partai Komunis China yang menyerukan revolusi sosial di wilayah pegunungan Himalaya itu.
TAPI, seiring realita yang didapatkan tidak sesuai revolusi yang dulu dicita-citakan,Mo pun mengkritik dan menggugah pemerintah melalui foto-foto seni hasil jepretannya. "Saya bukan warga etnis Tibet. Tapi, pada 1950-an, ayah saya mengikuti seruan Partai Komunis untuk pergi ke Tibet sehingga saya lahir dan besar di Tibet," ujar Mo kepada AFP.Awalnya, Mo bukan seorang fotografer.
Mo lebih dikenal sebagai pemain sepak bola profesional. Selama lebih dari delapan tahun, dia bermain sepak bola untuk sebuah tim yang berpusat di ibu kota Tibet, Lhasa. Klubnya pun bermain di liga sepak bola China. Namun, nilai fotografi seni ternyata mengalir dalam darahnya. Kini karya-karyanya yang tersimpan di sebuah tempat konservatorium di dekat Caochangdi, sebuah desa seniman di Beijing Timur, dalam ancaman karena bakal digusur untuk dibangun permukiman.
Hingga 30 Juni (besok), foto-foto Mo dipamerkan di galeri Coachangdi dengan tema "Arles in Beijing", sebuah pameran foto fotografer terkenal. Hampir sebagian besar karya foto Mo berkaitan dengan Tibet. Tapi, kini pria yang berusia 52 tahun itu lebih banyak berkreasi bukan hanya terkait Tibet,melainkan juga kota-kota lain di China yang pernah menjadi tempat tinggalnya seperti Tianjin.Umumnya, karya-karya foto Mo menggunakan warna hitam dan putih.
Mo juga sering menggunakan fokus kabur untuk menyimbolkan perubahan sosial di China. Fokus kabur dalam setiap fotonya merupakan bentuk kritik atas pertumbuhan ekonomi yang spektakuler dalam kurun waktu lebih 30 tahun itu. Kenapa harus kabur? "Bagi saya, banyak terdapat kontradiksi di perkotaan.Di satu sisi,itu merupakan sebuah peradaban dengan semakin mewahnya mobil dan semakin canggihnya komputer.Tetapi di sisi lain, ada polusi dan semakin banyaknya sampah,"tutur Mo.
Foto-foto kabur itu pun menjadi ciri khas Mo. Eksperimennya merupakan bentuk kritikan tajam terhadap peradaban China yang hampir menghilangkan nilai-nilai sebagai bangsa Timur. Foto kabur ala Mo itu menggugah semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat China, bahwa perubahan yang terjadi dan mimpi yang tercapai belum tentu menjadi sebuah masa depan yang jelas bagi semua pihak.
Dalam berkarya, Mo selalu mencoba bereksperimen. Menurutnya, semua manusia harus selalu bereksperimen dalam segala hal untuk mendapatkan hasil yang terbaik Dalam setiap fotonya,dia pun selalu bereksperimen agar setiap karyanya selalu berbeda dengan karya-karyanya yang terdahulu. "Saya pernah bereksperimen dengan menggantungkan kamera di punggung dan setiap lima langkah.
Saya memotret tanpa melihat objeknya," tuturnya. Belum cukup sampai di situ,Mo kerap menggabungkan karya fotografinya dengan properti tertentu untuk menjadi sebuah karya instalasi. Dalam sebuah pameran fotonya, Mo pernah menggunakan tempat tidur yang biasa digunakan para buruh untuk melepas lelah sebagai bentuk penyimbolan kampanye kepemilikan tanah oleh kelompok tertentu atau negara yang digaungkan Mao Zedong. Salah satu karya foto seni yang diciptakan Mo bertajuk "Saya dan Lingkungan".
Dia memotret apa yang ada di sekitarnya dengan fokus utama perubahan ekonomi dan sosial di China.Salah satu fotonya adalah pemandangan Lapangan Tiananmen di Beijing. Dengan sengaja, Mo menampilkan wajahwajah orang yang dipotretnya dalam bentuk blur (kabur).Sementara dalam karya lainnya, Mo juga menyandingkan foto Mao Zedong dengan pemimpin tirani lainnya seperti Hitler,Stalin,dan Pol Pot.
Sebelum terjun total di dunia fotografi seni, Mo pernah bekerja sebagai fotografer di sebuah rumah sakit khusus anak.Namun,dia dipecat dari rumah sakit karena ikut ambil bagian dalam demonstrasi di Tiananmen.Namun,dia tak putus asa.Karya-karya fotonya justru berkembang dan semakin dihargai publik setelah dia terjun total mengembangkan ide-ide cerdas dalam bentuk foto seni.
Pria kelahiran 1958 itu berpandangan, semua karya foto yang diciptakannya bukan sekadar foto. Semua fotonya,menurut Mo, lebih banyak berbicara dibandingkan politik. Foto-fotonya adalah suara hati atas apa yang dilihat dan dirasakan terhadap lingkungan dan sosial di China.Foto-foto sebenarnya bisa mengkritik lebih tajam dibandingkan komentar dan pernyataan." Tujuan utama saya bukan untuk mengkritik atau menyerang pemerintah atau pihak-pihak tertentu.
Tetapi karena kebijakankebijakan Pemerintah China, perubahan yang sangat cepat di masyarakat, dan itu semua merisaukan pribadi saya,"jawabnya. Karya fotografi Mo yang pertama kali ditampilkan ke publik bertajuk "Tembok Besar/Pria Tembok Besar"pada 1990.Karya itu berupa koleksi foto, rekaman suara, dan video yang dibuat Mo saat berpetualang selama tiga tahun.
Petualangan itu dimulai dari Tibet kemudian menuju Jalur Sutra hingga menyusuri Tembok Besar China. Sejak 1994,dia pun keliling dunia untuk memamerkan foto-foto karyanya. Beberapa pameran foto internasional yang pernah diikutinya di antaranya Ego (Italia), Antara Masa Lalu dan Masa Depan (Amerika Serikat dan Jerman), Gambaran China (Jepang), dan Museum Seni Jerman.
TAPI, seiring realita yang didapatkan tidak sesuai revolusi yang dulu dicita-citakan,Mo pun mengkritik dan menggugah pemerintah melalui foto-foto seni hasil jepretannya. "Saya bukan warga etnis Tibet. Tapi, pada 1950-an, ayah saya mengikuti seruan Partai Komunis untuk pergi ke Tibet sehingga saya lahir dan besar di Tibet," ujar Mo kepada AFP.Awalnya, Mo bukan seorang fotografer.
Mo lebih dikenal sebagai pemain sepak bola profesional. Selama lebih dari delapan tahun, dia bermain sepak bola untuk sebuah tim yang berpusat di ibu kota Tibet, Lhasa. Klubnya pun bermain di liga sepak bola China. Namun, nilai fotografi seni ternyata mengalir dalam darahnya. Kini karya-karyanya yang tersimpan di sebuah tempat konservatorium di dekat Caochangdi, sebuah desa seniman di Beijing Timur, dalam ancaman karena bakal digusur untuk dibangun permukiman.
Hingga 30 Juni (besok), foto-foto Mo dipamerkan di galeri Coachangdi dengan tema "Arles in Beijing", sebuah pameran foto fotografer terkenal. Hampir sebagian besar karya foto Mo berkaitan dengan Tibet. Tapi, kini pria yang berusia 52 tahun itu lebih banyak berkreasi bukan hanya terkait Tibet,melainkan juga kota-kota lain di China yang pernah menjadi tempat tinggalnya seperti Tianjin.Umumnya, karya-karya foto Mo menggunakan warna hitam dan putih.
Mo juga sering menggunakan fokus kabur untuk menyimbolkan perubahan sosial di China. Fokus kabur dalam setiap fotonya merupakan bentuk kritik atas pertumbuhan ekonomi yang spektakuler dalam kurun waktu lebih 30 tahun itu. Kenapa harus kabur? "Bagi saya, banyak terdapat kontradiksi di perkotaan.Di satu sisi,itu merupakan sebuah peradaban dengan semakin mewahnya mobil dan semakin canggihnya komputer.Tetapi di sisi lain, ada polusi dan semakin banyaknya sampah,"tutur Mo.
Foto-foto kabur itu pun menjadi ciri khas Mo. Eksperimennya merupakan bentuk kritikan tajam terhadap peradaban China yang hampir menghilangkan nilai-nilai sebagai bangsa Timur. Foto kabur ala Mo itu menggugah semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat China, bahwa perubahan yang terjadi dan mimpi yang tercapai belum tentu menjadi sebuah masa depan yang jelas bagi semua pihak.
Dalam berkarya, Mo selalu mencoba bereksperimen. Menurutnya, semua manusia harus selalu bereksperimen dalam segala hal untuk mendapatkan hasil yang terbaik Dalam setiap fotonya,dia pun selalu bereksperimen agar setiap karyanya selalu berbeda dengan karya-karyanya yang terdahulu. "Saya pernah bereksperimen dengan menggantungkan kamera di punggung dan setiap lima langkah.
Saya memotret tanpa melihat objeknya," tuturnya. Belum cukup sampai di situ,Mo kerap menggabungkan karya fotografinya dengan properti tertentu untuk menjadi sebuah karya instalasi. Dalam sebuah pameran fotonya, Mo pernah menggunakan tempat tidur yang biasa digunakan para buruh untuk melepas lelah sebagai bentuk penyimbolan kampanye kepemilikan tanah oleh kelompok tertentu atau negara yang digaungkan Mao Zedong. Salah satu karya foto seni yang diciptakan Mo bertajuk "Saya dan Lingkungan".
Dia memotret apa yang ada di sekitarnya dengan fokus utama perubahan ekonomi dan sosial di China.Salah satu fotonya adalah pemandangan Lapangan Tiananmen di Beijing. Dengan sengaja, Mo menampilkan wajahwajah orang yang dipotretnya dalam bentuk blur (kabur).Sementara dalam karya lainnya, Mo juga menyandingkan foto Mao Zedong dengan pemimpin tirani lainnya seperti Hitler,Stalin,dan Pol Pot.
Sebelum terjun total di dunia fotografi seni, Mo pernah bekerja sebagai fotografer di sebuah rumah sakit khusus anak.Namun,dia dipecat dari rumah sakit karena ikut ambil bagian dalam demonstrasi di Tiananmen.Namun,dia tak putus asa.Karya-karya fotonya justru berkembang dan semakin dihargai publik setelah dia terjun total mengembangkan ide-ide cerdas dalam bentuk foto seni.
Pria kelahiran 1958 itu berpandangan, semua karya foto yang diciptakannya bukan sekadar foto. Semua fotonya,menurut Mo, lebih banyak berbicara dibandingkan politik. Foto-fotonya adalah suara hati atas apa yang dilihat dan dirasakan terhadap lingkungan dan sosial di China.Foto-foto sebenarnya bisa mengkritik lebih tajam dibandingkan komentar dan pernyataan." Tujuan utama saya bukan untuk mengkritik atau menyerang pemerintah atau pihak-pihak tertentu.
Tetapi karena kebijakankebijakan Pemerintah China, perubahan yang sangat cepat di masyarakat, dan itu semua merisaukan pribadi saya,"jawabnya. Karya fotografi Mo yang pertama kali ditampilkan ke publik bertajuk "Tembok Besar/Pria Tembok Besar"pada 1990.Karya itu berupa koleksi foto, rekaman suara, dan video yang dibuat Mo saat berpetualang selama tiga tahun.
Petualangan itu dimulai dari Tibet kemudian menuju Jalur Sutra hingga menyusuri Tembok Besar China. Sejak 1994,dia pun keliling dunia untuk memamerkan foto-foto karyanya. Beberapa pameran foto internasional yang pernah diikutinya di antaranya Ego (Italia), Antara Masa Lalu dan Masa Depan (Amerika Serikat dan Jerman), Gambaran China (Jepang), dan Museum Seni Jerman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar