Minggu, 25 Juli 2010

Tiga Kota Dunia Menjadi Inspirasi



Lahir di Southport,Inggris; menjalani masa dewasa di Sisilia,Italia; dan Hiroshima,Jepang,telah membuat hidup David Mitchell kaya akan pengetahuan sejarah dan budaya.Pengetahuan itu pula yang akhirnya menjadi cerita utama dalam novelnya.


BAGI Mitchell,sejarah dan budaya tidak pernah lepas dari kehidupan manusia."Kalau Anda menghargai nilai komunikasi, ada baiknya Anda turut mempelajari sejarah dan kebudayaan setempat," kata novelis berusia 41 tahun ini.

Begini maksud Mitchell, komunikasi adalah bentuk interaksi antarmanusia. Kalau ingin kualitas komunikasi semakin baik, tidak ada salahnya mempelajari kebudayaan lawan bicara.Ketika seseorang memahami kebudayaan lawan bicara, materi perbincangan pun semakin luas. Begitu juga yang diterapkan Mitchell dalam bukunya. Selalu ada interaksi antarpersona, juga cerita tentang kebudayaan karakter fiksinya. Sudah banyak yang tahu bahwa peraih gelar master of arts dari University of Kent, Inggris, ini menerima banyak kebudayaan sepanjang 41 tahun hidupnya.

Dia dilahirkan di Inggris, negeri yang dinamis dan sangat modern. Kemudian menghabiskan satu tahun masa dewasa di Sisilia. Kawasan yang terkenal dengan aktivitas mafia di Italia itu memberikan wacana baru dalam kehidupan Mitchell. "Orangorang berpikir bahwa Sisilia adalah mafia dan mafia adalah Sisilia," sebut suami Keiko itu. Lebih dari itu Mitchell menjelaskan, banyak yang bisa dipelajari dari kehidupan masyarakat Sisilia Pola komunikasi, kebebasan berekspresi, dan bentuk-bentuk toleransi juga ada di Sisilia.

Selama setahun di Sisilia itu Mitchell banyak melahirkan karya, walau tidak semuanya diterbitkan. Ada beberapa tulisan yang hanya ingin dibaca sendiri. Bagi Mitchell tulisan itu seperti ruang.Ada ruang pribadi, artinya tulisan hanya ingin diingat dia sendiri, karena konteksnya personal. Ada pula tulisan yang tujuannya memang untuk dipublikasikan. "Layaknya ruang publik.Siapa pun bisa membaca dan menikmati tulisan saya," katanya lagi. Pada 1994, dia keluar dari Sisilia, kemudian terbang ke Hiroshima, Jepang. Seperti Sisilia, Hiroshima yang pernah dibom atom pada Perang Dunia II juga menawarkan pengetahuan baru bagi Mitchell.

Di kota ini Mitchell mendapat banyak inspirasi untuk "bibit" tulisannya. Hiroshima adalah kota bersejarah, layaknya Sisilia. Bedanya, sejarah yang menyelimuti Hiroshima berada di atas rute kisah yang berbeda dengan Sisilia.Hiroshima adalah saksi bisu Perang Dunia II, sementara Sisilia selama puluhan tahun dikenal sebagai "rumah"para mafia kelas kakap Italia. "Mafia adalah bagian dari sejarah. Kalau tidak ada aktivitas mafia,Mario Puzo akan sulit menulis buku Orang-Orang Sisilia,"cetus lelaki yang menghabiskan masa kanak-kanak di Malvern, Inggris, tersebut. Mitchell selalu percaya, kekayaan sejarah di dua kawasan serta beberapa tempat lain yang menjadi penyelamat tulisannya.

"Saya bisa saja tinggal di Cape Town atau Moose Jaw, misalnya. Saya akan menulis seraya meminta 'bantuan' penulisan dari catatan sejarah terkait kota yang saya diami," lanjutnya. Sejak kecil Mitchell sudah gemar menulis. Dia selalu menganggap aktivitas menulis layaknya melebarkan atlas. "Membaca tulisan itu seperti membuka atlas.Ada benua, negara, kota, gunung, sungai dan samudra," ungkap lelaki yang lahir 12 Januari 1969 ini. Pada 1999 Mitchell akhirnya menerbitkan novel pertama,Ghostwritten. Seperti konsep atlas yang selalu diusungnya, Ghostwritten pun bercerita tentang kebudayaan lintas negara. Beranjak dari Okinawa, Jepang, singgah di Mongolia dan berakhir di New York.

Ghostwritten memperoleh beberapa penghargaan, di antaranya John Llewellyn Rhys dan Guardian First Book. Novel berikutnya, Number9 Dream diterbitkan pada 2001, dilanjutkan dengan Cloud Atlaspada 2004. Novel Cloud Atlas mendapat sambutan ramai dari para pencinta buku. Berisi enam cerita terpisah, Cloud Atlas disebut-sebut sebagai salah satu novel terbaik. Bersamaan dengan itu penulis yang kini tinggal di Irlandia ini pun berlimpah penghargaan, termasuk Granta's Best of Young British Novelists. Tiga tahun kemudian nama Mitchell masuk dalam jajaran 100 Sosok Paling Berpengaruh Sedunia versi majalah TIME.

Setelah Cloud Atlas, penyuka karya Italo Calvino tersebut kembali dengan bukunya, Black Swan Green (2006).Awal Juli lalu Mitchell menerbitkan novel terakhirnya, The Thousand Autumns of Jacob de Zoet. "Semua tentang manusia dan untuk kehidupan manusia," kata Mitchell tentang bukunya. Dia ingin mengajak manusia berbahasa dan berkomunikasi lewat buku.

"Bahasa itu bak cahaya. Kalau tidak mampu berbahasa,Anda sulit bersatu dengan masyarakat," katanya


Tidak ada komentar: