Jumat, 18 Juni 2010

Bangun Sumur di Uganda pada Usia Enam Tahun



Kisah ibu guru Prest tentang kondisi masyarakat Afrika telah menggugah hati Ryan Hreljac.Siswa kelas 1 sekolah dasar (SD) ini lantas menghimpun dana untuk membantu penyediaan air bersih di Afrika.

USIA tidak menjadi halangan bagi siapa pun untuk membantu sesama. Buktinya, Ryan yang saat itu masih berumur 6 tahun bisa mengupayakan sesuatu yang sederhana demi perbaikan hidup orang banyak.

Ryan berhasil mengumpulkan uang USD75 (sekarang Rp687.000).Awalnya,dia menyangka barisan angka uang yang kecil sanggup meringankan beban masyarakat Afrika.Ternyata perkiraannya agak meleset. "Beberapa orang mungkin hanya membutuhkan angka yang kecil.Namun,warga Afrika butuh lebih banyak angka dari yang pernah kita bayangkan," ujarnya. Rencananya, uang itu digunakan untuk membangun sumur di beberapa wilayah perdesaan Afrika. Mengapa sumur, bukan pemberian bahan makanan? Ryan yang kini telah tumbuh sebagai pemuda berusia 19 tahun beralasan bahwa persoalan air bersih di Afrika sangat memprihatinkan. "Sumur berisi air bersih adalah salah satu sumber kebutuhan manusia," katanya.

Air yang dikonsumsi masyarakat di sana kebanyakan mengandung lumpur dan itu jelas bukan mineral yang baik untuk kesehatan. Ryan turut mencermati kehidupan anak-anak Afrika.Ketika kondisi tubuh tidak sehat, mereka bakal sulit belajar.Dengan dibantu beberapa keluarga, dia kemudian berkoordinasi dengan organisasi nirlaba di Kanada,WaterCan Betapa terkejutnya Ryan kala Water- Can memastikan dananya tidak mencukupi untuk membangun sumur di Afrika.Menurut WaterCan, Ryan paling tidak harus menyediakan dana sebesar USD2.000 (sekarang Rp18,3 juta). Pemuda yang kini berusia 19 tahun ini terperangah saat mendengar angka yang disebutkan WaterCan. Dia menangis karena merasa rencananya gagal.

Orang tua Ryan mencoba menenangkan dan meyakinkan bahwa selalu ada jalan keluar di balik niat baik. Di luar dugaan,Ryan justru bertanya sesuatu yang membuat orang tuanya terharu."Apakah niat saya ini baik, Ibu?" kata Ryan kecil seperti dituturkan ibunya. Beberapa hari kemudian,orang tua Ryan mengajak wali murid untuk berpartisipasi dalam proyek putranya. Usaha mereka ternyata mendapat respons positif.Kurang dari sepekan, orang tua Ryan berhasil mengumpulkan dana lebih dari USD2.000.Ryan bersemangat lagi. Lulusan Sekolah Menengah Umum (SMU) St Michael's CHS di Kemptville, Ontario ini langsung menghubungi WaterCan. "Kami berhasil mengumpulkan USD2.000. Bisakah kita mulai proyek pembuatan sumur di Afrika?" kata Ryan.Januari 1999,pembangunan sumur di 16 negara akhirnya dimulai.

Proyek ini tidak cuma dilaksanakan di Afrika,tetapi juga di beberapa negara Asia. Proyek pembangunan sumur berada di bawah kontrol The Canadian Physicians for Aid and Relief (CPAR). Ryan sempat beberapa kali menengok proses pembuatan sumur.Dia melihat satu sumur yang dibangun di kawasan SD Angolo di utara Uganda. "Senang rasanya melihat orang-orang bekerja sama untuk membantu sesama,"kenang Ryan tentang proyeknya. Saat mengawasi proyeknya, Ryan tidak berlaku seperti seorang bos. Dia ikut menyusun batu bata yang akan dijadikan dinding sumur. Mahasiswa University of King's College di Halifax, Nova Scotia ini juga sempat berkenalan dengan anak-anak Uganda.Dibantu penerjemah,Ryan mendengarkan kisah anak-anak Uganda.Usianya sebaya dengan Ryan."Mereka juga suka bermain sepak bola seperti saya," kenangnya tentang anak-anak SD Angolo.

Tiba-tiba seorang anak membisikkan sesuatu kepada penerjemah. Ryan yang penasaran langsung bertanya."Ada apa? Adakah kesalahan yang saya buat?" tanya Ryan kepada penerjemah. Jawaban penerjemah ternyata cukup mengejutkan. Kepada penerjemah, anak-anak SD Angolo mengaku ingin bisa melakukan apa yang tengah diusahakan Ryan.Namun, itu hanya angan-angan karena mereka tidak punya dana yang memadai. Sejujurnya, bukan paparan ini saja yang membuat Ryan sedih.Beberapa saat sebelum bercakap-cakap dengan siswa SD Angolo, penerjemah sempat mengisahkan sesuatu. Diceritakannya, beberapa siswa SD Angolo tidak langsung pulang begitu kegiatan sekolah selesai. Mereka mengunjungi panti jompo dan tempat perawatan penderita HIV/AIDS.

Siswa yang usianya sebaya dengan Ryan ini menjadi relawan di dua lembaga sosial tersebut. "Salah jika mereka menyangka saya telah melakukan hal yang besar. Justru merekalah yang patut disebut pahlawan,"katanya. Bagi Ryan, anak-anak Uganda adalah pelipur lara. Mereka merawat orang lanjut usia dan penderita HIV/AIDS dengan senyum. Padahal, hidup mereka pun tidak mudah. Kini, Ryan punya banyak pahlawan setelah ibu guru Prest. "Mereka,yang melakukan sesuatu yang menyenangkan untuk sesama, adalah pahlawan saya," tandas pemuda asal Kanada tersebut.

Tidak ada komentar: