Kamis, 06 November 2008

kenangan indah....tentangmu semasa di sekolah minggu


Kita tidak bisa memilih bagaimana dan kapan akan mati.
Tapi kita bisa memilih cara kita menjalani hidup sekarang.
(Joan Baez)

“Priit!” peluit berbunyi dan kedua regu serentak maju. Kami sedang berlatih football pada senja bulan Agustus yang sejuk itu.

Bruk! Aku menabrak seseorang. Ternyata B.J, salah seoarang teman karibku.
“Kau kebetulan beruntung waktu itu, Nate,” godanya.
“Yeah, memang! Aku memang hebat main football,” balasku.

Aku berkenalan dengan B.J di kelas enam, ketika kami masuk dalam tim football yang sama. Semua anggota tim menyukai B.J, tapi bagiku ia menjadi teman istimewa. Kalau mesti memilih partner untuk berlatih tackling, misalnya, aku selalu bersama B.J. Ia lucu dan menyenabgkan. Segala sesuatu selalu “bagus” baginya.

B.J bangkit dan men-tackle-ku. Kami tertawa. Lalu pelatih memanggil kami.
“Kemarilah kalian.” Kami menghampiri si pelatih. “Dalam pertandingan besok, kuminta kalian bermain sebaik mungkin.”
“Oke,” kami menjawab berbarengan.
“Sekian saja untuk sore ini. Jangan lupa dengan PR kalian,” seru pelatih kami ketika semuanya meninggalkan lapangan.
“Sampai ketemu dalam pertandingan besok,” teriakku pada B.J. Ia akan berangkat menghadiri rapat pemuda di gerejanya. B.J pergi bersama ayahnya yang menjadi asisten pelatih. Tepat pada saat itu ibuku datang menjemputku, naik mobil.
“Bu, boleh B.J mampir ke rumah sesudah pertandingan besok?” tanyaku sambil melompat masuk ke mobil.
“Kita lihat saja besok,” sahut ibu.

Keesokan harinya, aku siap-siap bertanding. Kami mengulang latihan-latihan yang telah kami pelajari malam sebelumnya. Lalu kami melakukan pemanasan. B.J belum datang, dan aku mulai bertanya-tanya, dimana dia berada. Sosoknya mudah terlihat, sebab ia lebih jangkung daripada anggota lainnya. B.J tidak akan melewatkan satu pertandinganpun, pikirku. Baru pada saat itulah kusadari bahwa ayah B.J juga tidak kelihatan. Padahal ia juga belum pernah melewatkan satu pertandingan pun sejak ia mulai melatih kami.

Ada yang tidak beres, pkirku. Pak pelatih memanggil kami. Sekarang aku benar-benar penasaran, ada apa sebenarnya.
“Anak-anak, kita mesti memenangkan pertandingan hari ini.” Kata pak pelatih. Lalu ia terdiam. Semua ikut terdiam. “Aku mendapat berita buruk. B.J mendapat kecelakaan semalam,” katanya.

Aku memejamkan mata dan mulai menangis dalam hati. Aku sudah menduga, pasti ada kabar buruk. Pak pelatih berbicara lagi.
“Dia sedang dalam perjalanan pulang dari rapat pemuda gerejanya, bersama sekelompok anak lain. B.J mengayun-ayunkan seutas tali nilon di luar jendela mobil. Tiba-tiba tali itu tersangkut di poros roda dan tersentak lepas dari tangannya.Rupanya dia lalu menjulurkan kepala ke luar jendela, untuk melihat apa yang terjadi. Tapi tali itu menyentak dan melilit lehernya, mencekiknya hingga tewas. Dan setelah....” Suara Pak Pelatih semakin pelan. Aku tak bisa lagi memusatkan pikiran untuk mendengarkan perkataannya. Aku Cuma ingat bahwa semalam aku masih melihat B.J.

Semua anak dalam tim kami berdiri dengan helm di tangan, sambil menangis. “Mari kita menangkan pertandingan ini untuk B.J,” teriak Pak Pelatih.

Selama pertandingan aku terus teringat B.J. Kutatap langit diatas, dan bertanya-tanya apakah B.J bisa melihat kami bermain dengan sunguh-sungguh untuk dirinya. Kami bermain sebaik mungkin, dan akhirnya menang.

Pada latihan berikutnya, kami ganti garis biru di helm kami dengan garis hitam, dan di bagian belakang helm itu kami cantumkan angka 80, nomor kaus B.J.

Ayah B.J sudah kembali membantu kami berlatih. Topinya terpasang miring, seolah-olah ia tak peduli lagi. Aku amat sedih melihatnya. Ia tak pernah kelihatan bahagia lagi. Aku tak pernah lagi melihatnya tersenyum, walau kami menang bertanding. Aku tahu musibah ini sangat berat bagi orang tua B.J, sebab ia anak mereka satu-satunya.

Kami memakai helm dengan nomor kaos B.J hingga empat pertandingan berikutnya, dan kami memenangkan semuanya untuk B.J. Kami berhasil masuk final, dan kami sukses menduduki tempat pertama.

Aku tahu tak mungkin kami meraih keberhasilan ini tanpa B.J. Aku merasa seakan ia ada bersama kami. Kadang-kadang aku suka melayangkan pandangan, berharap akan melihatnya dalam kaus merah kesayangannya, rambut pirangnya mencuat ke mana-mana, dan senyum cerah menghias wajahnya.

Meski kematian B,J tidak membuatku berhenti melakukan berbagai kegiatan yang kusukai – misalnya football, inline skating, dan ski – aku tidak lagi ugal-ugalan seperti dulu. Aku berpikir dulu sebelum melakukannya, bukan hanya tentang kesenangan yang akan kurasakan, tapi juga tentang bahaya-bahaya yang mungkin terjadi. Dulu aku suka mengeluarkan tangan dari jendela mobil yang sedang melaju, untuk memetik daun atau apalah. Tapi sekarang tidak lagi.

Aku tak sanggup menghadiri upacara pemakaman B.J. Terlalu berat bagiku. Bagi yang lain-lain pun sangat berat. Aku tak bisa berhenti memikirkan B.J dan aku sangat kehilangan dia.

Nate Barker, 12 tahun
Fr Chicken Soup for The Kid’s Soul

Tidak ada komentar: